Sumber: http://sains.kompas.com/read/2012/12/06/11303090/Perubahan.Iklim.Negara.Industri.Paling.Bertanggung.Jawab

KARIM JAAFAR / AL-WATAN DOHA / AFPKTT Perubahan Iklim ke-18 di Doha, Qatar membicarakan berbagai agenda salah satunya adalah pembaruan komitmen Protokol Kyoto.

 

DOHA, KOMPAS.com – Negara industri paling bertanggung jawab mengatasi perubahan iklim. Mereka harus memberi dana 100 miliar dollar AS per tahun sejak 2020 kepada negara-negara miskin dan berkembang. Sejauh ini, janji dana cepat 10 miliar dollar AS per tahun pada 2010-2012 masih ”blangko kosong”.

Demikian ditegaskan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon pada acara pendamping Konferensi Perubahan Iklim Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) di Doha, Qatar, Rabu (5/12/2012).

Soal pendanaan, negara-negara maju dan Presiden AS Barack Obama menjanjikan pendanaan mulai 2020 sebesar 100 miliar dollar AS per tahun. Janji pendanaan cepat 2010-2012 tak ditepati negara-negara maju dengan alasan mereka tertimpa krisis ekonomi.

Namun, Menteri Negara untuk Energi Inggris Ed Davey, Rabu, mengatakan, Inggris akan memberi 1,8 miliar poundsterling (sekitar Rp 29 triliun) untuk dana perubahan iklim internasional tiga tahun ke depan.

Hingga kemarin, negosiasi untuk Protokol Kyoto tahap ke-2 dan soal pendanaan perubahan iklim pada Pertemuan Para Pihak ke-18 (COP-18)/Pertemuan untuk Protokol Kyoto ke-8 (CMP-8) itu terancam buntu. Protokol Kyoto periode pertama berakhir 31 Desember 2012.

Pada COP-17 di Durban, Afrika Selatan, disepakati semua negara harus bertanggung jawab mengurangi emisinya sesuai rezim baru, mulai 2020. Protokol baru direncanakan siap 2015.

AS tidak turut meratifikasi Protokol Kyoto, sedangkan Jepang, Kanada, dan Rusia menyatakan tak akan ikut pada Protokol Kyoto tahap kedua.

Semakin nyata

Di Indonesia, dampak perubahan iklim sudah terasa, di antaranya cuaca yang sulit diprediksi.

Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Riza Damanik mengatakan, perubahan iklim makin menurunkan kualitas hidup masyarakat pesisir, khususnya nelayan, serta meningkatkan risiko. ”Frekuensi cuaca ekstrem meningkat, menyebabkan banyak nelayan meninggal saat melaut. Hingga Juli 2012, setidaknya 148 nelayan meninggal dan hilang di laut,” katanya.

Sementara itu, pulau kecil seperti Rewataya di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, yang luasnya 3.795 hektar—dalam 20 tahun terakhir—telah mengalami abrasi yang semakin parah. Tanaman seperti kelapa dan pisang tak mau tumbuh lagi karena intrusi air laut yang parah.

(AFP/REUTERS/AIK/ISW)

Sumber: http://indonesian.cri.cn/201/2012/12/05/1s133559.htm

Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB kemarin sore (4/12) dibuka di Doha, dengan dihadiri para delegasi dari sekitar 200 negara atau daerah.

Dalam pidato di depan upacara pembukaan itu, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mengatakan, penanganan krisis perubahan iklim semestinya menjadi tanggungjawab semua pihak. Umat manusia harus berpacu dengan waktu dalam proses penanganan perubahan iklim. Ia mendesak semua pihak menandatangani perjanjian guna mengambil tindakan dalam KTT Doha serta mencapai lima target kunci dalam minggu ini, antara lain, menetapkan tenggat waktu kedua Protokol Kyoto ; mencapai kemajuan di bidang dana jangka panjang; menjamin lembaga-lembaga seperti Green Climate Fund (GCF) yang mendukung negara-negara berkembang menyesuaikan diri untuk terus bekerja dengan efesiensi tinggi; memajukan pekerjaan terkait “platform Durban”; menetapkan pengurangan emisi dan target selisih suhu 2 derajat Celcius.

Sumber: http://www.analisadaily.com/news/read/2012/12/04/91853/sekjen_pbb_hadiri_konferensi_perubahan_iklim_di_doha/#.UL3Kl-RfF_4

PBB, New York (ANTARA News) – Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon tiba di Ibu Kota Qatar, Doha, Senin (3/12), untuk menghadiri Konferensi Perubahan Iklim PBB.

Sekretaris Jenderal PBB itu, pada Selasa, dijadwalkan memberi sambutan pada pembukaan pertemuan tingkat tinggi konferensi PBB tersebut.
Ia direncanakan mengadakan konferensi pers bersama Sekretaris Pelaksana Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim Christiana Figueres, kata Juru Bicara PBB Martin Nesirky kepada wartawan di Markas PBB, New York
Ban juga direncanakan bertemu dengan para pejabat dari berbagai negara dan kelompok regional yang menghadiri pembicaraan tersebut, serta pemimpin keuangan dan bisnis, kata Nesirky sebagaimana dilaporkan Xinhua.
Konferensi semua pihak itu dimulai pada 26 November. Figueres telah menyeru semua pemerintah agar bekerja keras sehingga pertemuan tersebut dapat menjadi langkah lain ke arah reaksi global terhadap perubahan iklim.
Konferensi itu dihadiri oleh delegasi pemerintah, wakil dari sektor usaha dan industri, organisasi lingkungan hidup, lembaga penelitian dan media.
Lebih dari 100 menteri dijadwalkan menghadiri pertemuan tingkat tinggi, yang dijadwalkan berakhir pada 7 Desember.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/12/12/02/meel1b-media-barat-pertanyakan-peranan-umat-islam-soal-perubahan-iklim

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Media barat mempertanyakan peranan umat Islam dalam masalah perubahan iklim. Oleh mereka, umat Islam dianggap lebih memprioritaskan masalah Palestina ketimbang perubahan iklim.

Pada Ahad (2/12), The Assosiated Press melaporkan, dari enam masjid yang disambangi di ibukota Qatar, hanya satu masjid yang membahas masalah perubahan iklim dalam khutbah Jumat. Itu pun sebatas mengajak umat menanam pohon dan menghindari pemborosan penggunaan energi.

Minimnya pembahasan itu, kata AP, menjadi ironi mengingat Qatar adalah tuan ruman konferensi PBB tentang perubahan iklim. Aktivisis Lingkungan, Fazlun Khalid, menilai tidak begitu banyak dukungan dari umat Islam soal perubahan iklim. Karena itu, perlu ada usaha untuk menyadarkan umat Islam bahwa lingkungan tempat tinggal mereka terancam.

“Modernitas dan paradigma pembangunan ekonomi kini mendominasi alam. Ini benar-benar membuat frustasi,” kata dia seperti dikutip alarabiya.net. Namun, Khalid opitimis ketika pendekatan kepada umat Islam terus dilakukan maka akan terlihat  perubahan.

Di Zanzibar misalnya, melalui pendekatan agama, mereka tidak lagi menggunakan bom dinamit ketika mencari ikan. “Ini berarti, ada dampaknya. Agama menjadi benteng terakhir apabila hukum pemerintah tidak dianggap,” kata dia.

Sejauh ini, pembahasan masalah perubahan iklim tengah menemui jalan buntu. Itu karena, terjadi jurang pandangan berbeda antara negara kaya dan miskin terkait bagaimana membagi beban keuangan dari perubahan itu.

Ketua Iklim PBB, Christiana Figueres, mengeluhkan ketiadaan dukungan masyarakat. Untuk itu, menurut dia, pemerintah perlu mengambil keputusan yang lebih ambisius dan berani. “Masing-masing dari kita memikul tanggung jawab,” kata dia.

Melihat kondisi itu, PBB coba merangkul komunitas agama dunia. Ini dimaksudkan agar masyarakat yang saat ini apatis bisa tergerak. Langkah ini sudah dimulai sejak tahun 2009 lalu. Dampaknya memang belum terlihat. Tapi ada indikasi, langkah ini akan berhasil di masa depan.

Secara terpisah, Mufti Besar, Ali Gomaa, secara tegas mengatakan umat Islam telah memberikan sumbangsihnya dalam upaya memikirkan solusi tentang perubahan iklim. Salah satu sumbangsih itu adalah menggelar kampanye hijau pada bulan Ramadhan di Timur Tengah dan AS.

“Ini menjadi bagian yang penting dari Islam. Sedari awal, Islam telah mendorong rasa tanggung jawab seorang muslim untuk menjaga lingkungan,” kata dia

Asisten profesor studi Islam, Universitas California, Muhammad Ali, menilai peranan ulama sangat dibutuhkan guna mendorong umat menciptakan kesadaran akan perubahan iklim. Sebab, masih ada umat Islam yang melihat posisi manusia begitu superior.

Sumber: http://www.analisadaily.com/news/read/2012/11/26/89852/target_redam_pemanasan_global_makin_jauh_dari_jangkauan/#.ULLMY-RfF_4

SASARAN meredam pemanasan global makin jauh dari jangkauan, tegas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam serangkaian laporan terbaru yang memperingatkan tentang ancaman bencana iklim menjelang pembicaraan penting di Qatar.

Ikrar negara-negara saat ini untuk mengurangi emisi gas rumahkaca pengubah iklim ternyata tidak dipenuhi, terbukti suhu udara global naik tiga hingga lima derajat Celsius pada abad ini, ungkap sebuah laporan UN Environment Program (Program Lingkungan PBB).

Batas yang ditargetkan adalah kenaikan dua derajat Celsius pada level pra-industri.

Dalam empat hari terakhir, World Meteorological Organisation melaporkan kenaikan gas-gas pemanas Bumi yang mencapai rekor di atmosfer, sementara Bank Dunia memperingatkan kehancuran di seluruh planet ini jika sampai terjadi kenaikan empat derajat Celsius.

UNEP menegaskan tindakan segera masih dapat membuat dunia kembali ke jejaknya, tapi itu mesti melibatkan peningkatan ikrar dan pengurangan emisi sebesar 14 persen jadi sekira 44 miliar ton pada 2020 dari sekira 50,1 miliar ton per tahun dewasa ini.

“Pesan itu nyata benar merupakan salah satu hal sangat mengejutkan dan memprihatinkan tentang keberadaan kita nantinya,” ungkap pemimpin UNEP Achim Steiner.

Para ilmuwan mengatakan temperatur global telah naik rata-rata sekira 0,8 derajat Celsius.

Planet ini telah menyaksikan suhu udara yang mencatat rekor baru dalam sedekade terakhir dan seringnya bencana alam yang dipersalahkan sebagian pihak pada perubahan iklim — bencana terbarunya adalah badai super Sandy, yang menghajar Haiti dan Pantai Timur AS.

Bendera Merah

Kalangan pengamat dan perunding iklim yang sedang mempersiapkan pembicaraan PBB yang dibuka di Doha pada Senin depan menilai laporan UNEP sebagai bendera merah yang tepat waktunya.

“Waktunya kini semakin mepet,” ungkap kepala badan perikliman PBB Christiana Figueres, “tapi sarana teknis dan alat kebijakan untuk memungkinkan dunia tetap berada di bawah suhu maksimum dua derajat Celsius masih dimiliki para pemerintah dan masyarakat”.

Komisioner urusan iklim Eropa Connie Hedegaard mengemukakan data tadi menunjukkan “dunia tidak kompak untuk bertindak cukup cepat”.

“Kendati adanya fakta-fakta dan bukti itu di depan kita, masih banyak pihak enggan berbuat sesuatu… atau melupakan krisis iklim itu sampai kita bisa memecahkan krisis ekonomi.”

Lebih 190 negara akan bertemu selama dua pekan di Qatar dalam upaya menyusun sebuah program kerja untuk menyetujui sebuah perjanjian iklim baru dan global yang diharapkan diteken pada 2015 dan diberlakukan pada 2020.

Mereka juga akan berupaya menerapkan fase lanjutan bagi Kyoto Protocol yang mengikat negara-negara kaya dengan penurunan emisi gas rumahkaca namun berakhir masa berlakukan pada 31 Desember.

UNEP mengatakan konsentrasi gas-gas pemicu panas seperti karbon dioksida (CO2) di atmosfer telah naik sekira 20 persen sejak 2000 lalu, mengalami kenaikan setelah sempat turun selama krisis ekonomi 2008-2009.

Jika tindakan tidak segera diambil maka emisi gas kemungkinan akan mencapai 58 gigatone pada 2020 mendatang.

“Semakin sikap negara-negara melaksanakan apa-apa yang mereka telah janjikan maka situasinya akan tambah baik. Namun sekalipun jika mereka melaksanakan semua yang telah diikrarkan, itu masih belum cukup jika anda ingin bertahan pada jejak dua derajat Celsius,” tandas pakar UNEP John Christensen.

Wael Hmaiden, direktur NGO Climate Action Network, mengatakan data itu “menunjukkan kepada kita betapa mendesaknya kita memiliki rencana aksi yang jelas untuk disetujui di Doha pada ambisi mitigasi pra-2020”.

Dan Alden Meyer dari Union of Concerned Scientists mengemukakan: “Tanpa ada tindakan lebih agresif lagi maka kita akan kalah perjuangan menjaga kenaikan suhu udara tetap berada di bawah dua derajat dan mencegah berbagai dampak terburuk dari perubahan iklim.”

Dalam sebuah laporan pada 18 Nopember lalu, Bank Dunia mengemukakan kenaikan suhu udara sebesar empat derajat Celsius bisa menimbulkan berbagai efek menghancurkan terhadap produksi pangan dan penyebabaran penyakit, dengan bertambahnya gelombang udara panas dan banjir serta naiknya level air laut yang membanjiri area-area tepi pantai dan pulau-pulau kecil.

Sumber: http://jaringnews.com/politik-peristiwa/umum/28257/siti-maemunah-protokol-kyoto-kehilangan-powernya

Protokol tersebut  terus dihambat untuk bisa menghasilkan capaian yang signifikan bagi penyelamatan penduduk bumi.

JAKARTA, Jaringnews.com – Tiga hari lagi KTT Perubahan Iklim digelar dan dunia telah menjadi saksi meningkatnya krisis akibat dampak perubahan iklim.

KTT ini diselenggarakan di tengah krisis iklim yang makin menghebat baik di luar Negeri ditandai mulai dengan melelehnya salju paling drastis di kutub hingga badai Sandy di Amerika Serikat. Di dalam negeri adanya banjir. Fakta ini berkorelasi dengan makin memburuknya kualitas lingkungan di tanah air.

“Perundingan yang telah dijalankan bertahun-tahun untuk mengurangi pemanasan global akhirnya terbentur pada lemahnya kemauan negara Industri menurunkan emisi dan menyediakan pendanaan untuk  membantu negara berkembang menghadapi dampak perubahan iklim,” ujar Koordinator Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (CSF-CJ) Siti Maemunah di kantornya, Jumat (23/11).

Menurut Siti, sejak lahirnya pada 1997 Protokol Kyoto (KP) hingga berakhirnya periode pertamanya tahun ini, protokol tersebut  terus dihambat untuk bisa menghasilkan capaian yang signifikan bagi penyelamatan penduduk bumi.

Sebagai satu-satunya instrumen kebijakan yang dapat mengikat secara hukum peran dan tanggungjawab negara-negara industri, tentu keberadaannya harus didukung pasca 2012.

Saat ini, menurut Siti,  Protokol Kyoto tetap akan dilanjutkan untuk periode 2013-2015 atau 2013-2020. Akan tetapi secara substansi, protokol tersebut kehilangan kekuatannya dikarenakan “Major Emmiters” seperti Kanada, Jepang, Rusia, China dan USA tidak lagi terikat di dalammnya.

“Mereka telah menyatakan tak bersedia terlibat dalam perpanjangan Kyoto Protokol,” kata Siti.

Apalagi menurutnya, perpanjangan KP sebenarnya hanya untuk mengisi kekosongan sebelum disepakatinya protokol baru yang lebih moderat dan sedang dinegosiasikan di bawah “Ad Hoc Working Group on The Durban Platform for Enhanced Action”.

Artinya, jelas Siti, perpanjangan KP bukan lah isu utama hari ini, akan tetapi substansi KP tersebut lah yang harus tetap dikawal sehingga bisa mengatur secara mandatori level reduksi emisi kolektif global bagi negara industri maju untuk menghindari kenaikan suhu bumi di atas 1,50C – 20C.

Substansi penting lainnya adalah bahwa KP periode kedua tidak boleh mengakomodir mekanisme pasar untuk menjalankan tanggungjawab negara-nagara industri seperti yang di promosikan oleh Amerika Serikat dan UNEP.

“Padahal situasi genting yang sedang dihadapi penghuni bumi sudah terkonfirmasi setidaknya sejak 20 tahun yang lalu,” tandasnya.

(Alb / Deb)

Sumber: http://indonesian.cri.cn/201/2012/11/23/1s133251.htm

Menjelang penyelenggaraan Konferensi PBB di Doha tentang perubahan iklim pada 26 November, pemerintah Tiongkok lalu meluncurkan laporan tahunan tentang kebijakan Tiongkok dalam menanggapi perubahan iklim. Dalam laporan ini diulas kebijakan dan langkah yang diambil Tiongkok untuk meredakan dan menyesuaikan diri dengan perubahan iklim. Wakil Ketua Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional Tiongkok Xie Zhenhua menyatakan, Tiongkok akan berupaya mengontrol emisi karbondioksida dan gas emisi, namun adalah tidak adil dan tidak rasional jika Tiongkok dituntut mengurangi emisi secara mutlak pada tahap sekarang. Xia Zhenhua menyatakan, dalam Perundingan Doha, strategi Tiongkok tidak akan mengalami perubahan.

Xie Zhenhua mengatakan, pilihan Tiongkok untuk mewujudkan perkembangan ilmiah dan berkelanjutan sesuai kondisi negara adalah dengan pembangunan hijau, pembangunan rendah karbon, dan pembangunan sirkular.

“Kondisi negara Tiongkok adalah berpenduduk banyak, namun dengan sumber yang relatif kurang. Volume kepemilikan per kapita Tiongkok terhadap sumber utama yang mendukung pembangunan ekonomi tidak sampai separuh dari rata-rata dunia. Kapasitas lingkungan Tiongkok terbatas, ekologi masih lemah. Saat ini masyarakat menyatakan tidak puas terhadap lingkungan sekarang. Masalah sumber daya, energi dan lingkungan sudah menghambat perkembangan Tiongkok. Tiongkok tidak punya pilihan selain kecuali meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya dan efisiensi pemanfaatan energi melalui pembangunan hijau, pembangunan rendah karbon, dan pembangunan sirkular, sekaligus mengembangkan energi baru dan pada akhirnya mewujudkan target pembangunan masyarakat sejahtera dan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, satu-satunya pilihan bagi Tiongkok adalah pembangunan hijau dan pembangunan rendah karbon.”

Volume emisi karbondioksida di Tiongkok masih tinggi. Mengenai hal itu, Xie Zhenhua menyatakan, Tiongkok memang menghadapi tantangan yang amat besar, namun ini merupakan persoalan yang harus dihadapi dalam pembangunan.

Xie Zhenhua menyatakan, masalah yang akan diselesaikan dalam konferensi Doha tahun ini mengekspresikan “tanggung jawab sama, kewajiban berbeda” dalam kerangka konvensi, negara-negara maju perlu terlebih dahulu mengurangi emisi dalam skala besar. Sementara itu, negara-negara berkembang perlu aktif beraksi untuk menanggapi perubahan iklim sesuai dengan tuntutan konvensi dan protokol serta mendapat dukungan dana dan teknik dari negara-negara maju. Xie Zhenhua mengatakan, Tiongkok sudah berkomitmen dan mengambil langkah tanpa mendapat dukungan dana dan teknik dari negar-negara maju.

“Tiongkok sudah berjanji dan mengambil langkah untuk menurunkan 40 hingga 45 persen emisi karbon pada tahun 2020 dari emisi tahun 2005. Selama Repelita ke-11, Tiongkok telah menurunkan 20 persen. Selama Repelita ke-12, Tiongkok akan menurunkan 17 persen. Mengenai kapan Tiongkok memikul kewajiban pengurangan emisi yang mempunyai daya hukum, inilah persoalan yang perlu dirundingkan dan diselesaikan dalam konferensi Doha.”

Sumber: http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2012-11-22/laporan-perubahan-iklim-pbb-mengkhawatirkan/1050174

PBB telah merilis statistik yang mengkhawatirkan mengenai perubahan iklim, menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB di Qatar.

Angka statistik itu dimuat dalam Emissions Gap Report, yang disusun oleh Program Lingkungan PBB (UNEP) dan Yayasan Iklim Eropa.

Laporan itu mengatakan, konsentrasi gas yang menyebabkan penghangatan bumi seperti karbon dioksida telah meningkat 20 persen sejak tahun 2000.

Juga dikatakan, tingkat emisi gas rumah kaca kini sekitar 14 persen diatas batas yang ditetapkan untuk menjaga agar kenaikan suhu global dibawah dua derajat Celsius.

Sumber: http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=147603

JENEWA – Bank Dunia (World Bank) mengingatkan perubahan iklim yang terjadi saat ini bakal mengancam perekonomian global. Dikatakan, peningkatan suhu global bakal mengakibatkan tenggelamnya kota-kota pesisir, meningkatkan risiko gagal panen dan mendongkrak angka kekurangan gizi. Daerah kering menjadi semakin kering, sementara daerah yang basah menjadi semakin basah karena perubahan iklim. Di sisi lain, tahun ini tercatat peristiwa gelombang panas yang belum pernah terjadi sebelumnya di berbagai daerah.

“Perubahan iklim menyebabkan kelangkaan air dan bencana alam lainnya,” ujar Jim Yong Kim, Presiden Bank Dunia seperti dikutip USnews, Rabu (21/11).

Laporan, berjudul “Turn Down Heat,” membayangkan sebuah dunia yang lebih hangat dengan rata-rata kenaikan suhu 4 derajat Celsius. Menurut Jim Yong Kim, laporan tersebut dimaksudkan untuk mengingatkan semua negara di dunia agar segera mengambil tindakan yang diperlukan.

“Dunia dengan kenaikan 4 derajat celcius akan sangat berbeda dari yang sekarang dan menyebabkan ketidakpastian yang tinggi. Selain itu risiko baru juga  mengancam kemampuan kita untuk mengantisipasi dan merencanakan untuk kebutuhan adaptasi di masa depan,” ungkapnya.

Meskipun laporan itu tidak membuat perkiraan keuangan yang spesifik, pemanasan global akan menyebabkan malapetaka di sektor pertanian,  kesehatan dan akan mempengaruhi negara miskin. Ini akan mendorong naiknya harga pangan, membuat 35 persen lahan pertanian di sub Sahara Afrika tidak cocok lagi untuk pertanian, dan akan memperpanjang rentang penyakit tertentu.

“Kita harus mencari solusi bagaimana  memenuhi kebutuhan masyarakat miskin saat ini. Setiap negara dapat melakukannya sekarang, bukan hanya tumbuh ekonominya dengan cara-cara kotor seperti sekarang ini dan mengatakan mereka akan membersihkannya nanti,” ujar Rachel Kyte, wakil presiden Bank Dunia untuk jaringan pembangunan berkelanjutan.

Itu berarti negara harus memiliki infrastruktur yang menggunakan energi bersih. Sementara negara-negara berkembang harus mempertimbangkan pertumbuhan perkotaan dengan kenaikan permukaan air laut. Di samping mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi yang sehat dalam jangka panjang.(esy/jpnn)

Sumber: http://web.inilah.com/read/detail/1927986/bumi-memanas-bank-dunia-khawatir

INILAH.COM, Washington Bank Dunia memperingatkan, suhu bumi bisa naik empat derajat abad ini, jika ada tindakan yang diambil.

Padahal kenaikan dua derajat saja bisa menyebabkan kerusakan yang amat besar. Terutama bagi kota-kota di pesisir dan warga dunia yang hidup di garis kemiskinan.

Bank Dunia meminta adanya tindakan untuk masa depan dunia, terutama di kawasan perekonomian berkembang.

Yakni, mengurangi emisi gas rumah kaca dari berbagai sumber. Diantaranya produksi energi yang benar-benar mencemari planet ini.

Waktunya semipit. Dunia harus segera mengatasi perubahan iklim dengan lebih agresif, demikian Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim.

Kemiskinan takkan berakhir jika perubahan iklim tak diatasi. Ini salah satu tantangan terbesar bagi keadilan sosial, lanjutnya.

Sebuah studi menyatakan, Bumi menghangat empat derajat Celcius pada 2060 jika negara-negara belum juga sepakat mengenai solusi perubahan iklim.

Sumber: http://www.theglobejournal.com/Lingkungan/tahun-2030-hutan-sumatra-punah/index.php

Banda Aceh – Penelitian Bank Dunia memprediksikan hutan di Sumatra bila tidak dikelola dengan baik dan berkesinambungan tahun 2030 akan punah dan rusak total. Kepunahan ini dipastikan akan sangat berdampak pada perubahan iklim di dunia yang sedang terjadi.

Ini disampaikan oleh Ketua Strengthening Integrity and Accountability Program II (SIAP II), Hanif dalam sambutannya pada acara Training Jurnalis Investigasi Senin (19/11) di Hermes Palace Hotel.

Tentunya tidak ada satu orang pun yang berkeinginan itu terjadi.  Apa lagi ditingkat internasional saat ini sangat konsen menyelamatkan hutan agar tidak terus terjadi perubahan iklim. Maka diperlukan upaya pencegahan secepat mungkin. Ini agar efek buruk tersebut tidak terjadi di masa yang akan datang dan segera bisa dicegah.

Selebihnya, kata Hanif, perubahan iklim juga menjadi persoalan utama yang disorot oleh dunia. Negara-negara yang memiliki hutan yang luas menjadi perhatian khusus agar mengelola hutan dan melakukan redesain kembali hutan. Diantaranya Aceh yang masih memiliki hutan yang lebat dan menjadi paru-paru dunia harus segera diselamatkan.

Ditambah lagi menurut data yang dikeluarkan oleh Transparansi Internasional Indonesia (TII). Model korupsi di Indonesia tingkat ke-4 itu berada pada sektor kehutanan. Ini  tentunya akan sangat mengkhawatirkan bila tidak segera diatasi.

Oleh sebab itu, agar ini tidak terus terjadi yang berakibat fatal terhadap perubahan iklim di dunia. Jalan keluarnya perlu ada penekanan dari publik agar kebijakan kehutanan bisa segera diantisipasi oleh Pemerintah.

Menurut Hanif, penting adanya keterlibatan penuh dari media untuk terus memberitakan sebagai upaya penekanan dari publik. Hal ini telah terbukti sebagaimana yang pernah terjadi kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu.

Berkat penekanan dari publik, kata Hanif, sehingga Pemerintah segera mengambil langkah untuk mengatasi hal tersebut.

Beranjak dari situlah, ungkap Hanif kembali, membuat sebuah Training Jurnalis Investigasi khusus kehutanan. Harapannya ancaman punahnya hutan di tahun 2030 bisa teratasi mulai sekarang. Baik dari pemberitaan sebagai bentuk kontrol sosial, maupun akan keluar kebijakan yang melindungi hutan.

Sumber: http://www.voaindonesia.com/content/perubahan-iklim-berdampak-buruk-pada-tanaman-kopi-arabika/1547123.html

Para ilmuwan Inggris memperingatkan dampak buruk perubahan iklim pada tanaman kopi arabika.

Kopi Arabika mencakup 70 persen produksi komersial dunia dan meskipun ditanam di perkebunan di seluruh dunia, tetapi lingkungan aslinya terbatas, tarutama di dataran tinggi Ethiopia. Tanaman kopi sangat peka terhadap fluktuasi iklim, namun tanaman liar ini punya beragam gen yang diandalkan para petani kopi untuk meningkatkan panen, tetapi tidak fleksibel terhadap perubahan iklim.

Ilmuwan-ilmuwan dari Royal Botanic Garden di Kew, London, dan Forum Lingkungan dan Kebun Kopi di Ethiopia telah menyelesaikan model komputer pertama mengenai pengaruh perubahan iklim pada kopi arabika asli. Skenario emisi mereka selama akhir abad menunjukkan dampak negatif pada sejumlah spesies dan jenis kopi arabika. Mereka memprediksi, kopi Arabika akan punah di salah satu bagian wilayahnya dalam satu dekade, akibat perubahan iklim selain karena penebangan hutan, hilangnya habitat, dan tekanan pertanian.

Karena arabika adalah satu-satunya kopi yang ditanam di Ethiopia, industri setempat bisa sangat dirugikan oleh perubahan cepat iklim, bisa mengurangi lahan yang bisa ditanami, memerlukan penanganan yang lebih cermat, dan menyebabkan kegagalan panen.

Kopi arabika asli berperan penting dalam produksi kopi di Ethiopia dan mempunyai nilai khusus sebagai sumber genetika kopi liar. Hasilnya diperkirakan bernilai setengah sampai 1,5 milyar dolar per tahun. Ethiopia merupakan  pengekspor kopi arabika kelima terbesar di dunia dan produsen kopi utama di Afrika. Kopi merupakan 33 persen dari total pendapatan ekspor Ethiopia. Tanaman kopi arabika paling banyak dan paling beragam jenisnya terdapat  di dataran tinggi selatan sampai barat Ethiopia.

Para ilmuwan berharap analisis mereka yang diterbitkan oleh jurnal PLOS ONE akan meningkatkan perkembangan strategi baru untuk mempertahankan kopi arabika di lingkungannya.

Sumber: http://www.suarapembaruan.com/home/permukaan-air-laut-indonesia-naik-2-8-mm-per-tahun/26875

[BOGOR] Indikasi menguatnya perubahan iklim terlihat dalam berbagai fenomena alam. Kenaikan muka air laut salah satunya. Meski penelitian penyebab dominan masih terus diteliti, kenaikan muka air laut harus diwaspadai. Dalam kondisi global kenaikan muka air laut 3 milimeter (mm) per tahun, sedangkan di Indonesia mencapai 2-8 mm per tahun.

Untuk itulah Badan Informasi Geospasial (BIG) bersama Projek Riset Reconstruction of Sea Level Change in South Asia Using Satellite Altimetry and Tide Gauge Data (RESELECASEA) sejak tahun 2011 melakukan riset untuk merekonstruksi peta kenaikan permukaan laut dan pasang surut laut di Asia Tenggara dengan data satelit altimeter.

Kepala BIG Asep Karsidi mengatakan dari sisi fisik bumi mengalami pemanasan global yang semakin nyata. Terjadinya perubahan iklim ditandai semakin meningkatnya bencana meteorologi dan hidrologi.

“Tuntutan pemantauan kenaikan tinggi muka air laut di lokal (Indonesia) sangat penting dengan pemanfaatan altimetri. Sebab indikasinya wilayah timur Indonesia kenaikan muka lautnya lebih tinggi dibanding wilayah barat,” katanya di sela workshop Coastal Satelite Altimetry di Bogor, Rabu (14/11).

Untuk mengetahui secara lebih cermat Indonesia membutuhkan kehadiran satelit altimetri. Asep pun berharap Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) bisa mengembangkan satelit tersebut. Sebab kenaikan muka air laut membawa sejumlah implikasi seperti tenggelamnya wilayah daratan, ketahanan pangan karena terganggunya iklim dan banjir.

Deputi Bidang Kedirgantaraan Lapan Ing Soewarto menyatakan Indonesia berpotensi memiliki satelit altimetri. Lapan menurutnya sudah menguasai pembuatan satelit, hanya perlu melengkapi muatannya untuk monitoring altimetri.

“Lapan sejauh ini sudah menghasilkan satelit A1 untuk penerapan teknologi,Lapan A2 atau Lapan Orari, Lapan A3 atau Lapan IPB-Sat untuk ketahanan pangan dan penelitian daerah pesisir,” ucapnya.

Deputi Bidang Informasi Geospasial Dasar BIG Poentodewo mengungkapkan dengan mengetahui data tentang laut, muncul sudut pandang dalam proses pembangunan yang bertitik pangkal pada laut tidak hanya daratan.

Ia mencontohkan fenomena banjir Jakarta bukan hanya masalah yang terjadi di belakang laut. “Perlu diingatkan bahwa pembangunan di sepanjang pesisir, bagaimana kebijakan pembangunan kawasan pantai semuanya terkait dengan penataan kawasan pesisir. Selama ini kita miskin data untuk itu. Oleh karena itu penelitian maritim ini penting,” jelasnya. [R-15]

Sumber: http://www.solopos.com/2012/11/13/duh-kopi-diramalkan-punah-pada-2080-347424

JAKARTA—Kopi diramalkan akan punah pada 2080. Peneliti Inggris di Royal Botanic Gardens menerbitkan penelitian mereka PLOS ONE yang menyatakan bahwa perubahan iklim akan mempengaruhi penanaman kopi Arabica liar di Afrika Timur.

Arabica mensuplai 70% persediaan kopi dunia. Abstrak dari penelitian itu mengatakan, “Berdasarkan peristiwa dan toleransi ekologi dari Arabica, ketidakcocokan bioclamatik akan menempatkan populasi dalam bahaya, menuntun ke stress yang parah dan risiko kepunahan yang tinggi.”

“Kopi Arabica dikonfirmasi sebagai spesies yang peka terhadap iklim, data pendukung dan gangguan bahwa pertanian yang ada akan secara negatif dipengaruhi oleh perubahan iklim.”

Penelitian tersebut meramalkan bahwa pada 2080 bahwa jumlah kecocokan bioclimat untuk pertumbuhan kopi liar akan berkurang sampai 65-100%.

Kopi saat ini merupakan komoditas perdagangan terbanyak kedua setelah minyak.

 

Sumber: http://techno.okezone.com/read/2012/11/12/56/717069/global-warming-paksa-perubahan-kebiasaan-manusia

detail berita

(Foto: Nytimes)

WASHINGTON – Global warming atau pemanasan global ialah meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut dan daratan. Pemanasan global bisa berdampak buruk terhadap kehidupan, seperti intensitas cuaca yang ekstrim serta punahnya berbagai spesies hewan. Tidak hanya itu, fenonema ini juga bisa menimbulkan perubahan budaya.

Seperti diketahui, suhu rata-rata global permukaan bumi meningkat selama seratus tahun terakhir. Ilmuwan percaya bahwa hal ini disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia.

Dilansir Scientificamerican, Senin (12/11/2012), pemanasan global adalah kabar buruk untuk olahraga di musim dingin. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan perubahan iklim, tetapi juga mengakibatkan perubahan budaya atau kebiasaan-kebiasaan manusia.

Mencairnya air laut Arktik bisa menyebabkan berakhirnya perburuan tradisional dan aktivitas memancing untuk orang-orang yang tinggal di daerah Kutub. Selain itu, dampak pengasaman laut terhadap terumbu karang dapat menghilangkan spesies tertentu di Melanesia, seperti lumba-lumba, hiu serta ikan pari.

Menurut jurnal Nature Climate Change, perubahan ini bisa dirasakan secara global. Misalnya, terjadinya badai besar maupun kegagalan panen bagi petani.

Selain itu, efek perubahan iklim ini juga menyebabkan melonjaknya migrasi penduduk. Perubahan iklim juga berdampak pada sektor perikanan atau peternakan.

Adaptasi ini menjadi kunci tantangan budaya untuk masa yang akan datang. Diperlukan komunikasi global yang bisa menghubungkan dengan keprihatinan lndividu lokal serta komunitas untuk mengurangi resiko iklim.

Wikipedia menerangkan, efek rumah kaca ialah kondisi di mana sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas. Gas ini antara lain uap air, karbon dioksida, sulfur dioksida serta metana.

Pada tingkat tertentu, efek rumah kaca ini diperlukan oleh makhluk hidup yang ada di bumi. Karena tanpa efek rumah kaca ini, maka planet akan menjadi sangat dingin. Dengan suhu rata-rata sebesar 15 derajat celcius, bumi sesungguhnya telah lebih panas 33 derajat celcius dari suhu semula.

Bila tidak ada efek rumah kaca, maka suhu bumi hanya minus 18 derajat celcius. Sehingga es akan menutupi seluruh permukaan bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas tersebut berlebihan di atmosfer, akan menimbulkan pemanasan global. (fmh)

Metrotvnews.com, Canberra: Australia akan menandatangani komitmen kedua dari Protokol Kyoto. “Dengan bergabungnya Australia dalam komitmen kedua protokol, para pebisnis Australia diharapkan dapat memperoleh akses terhadap pinjaman internasional melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM), sehingga dapat membantu Australia untuk mengurangi emisi gas buangnya dengan biaya yang relatif murah,” kata Menteri Perubahan Iklim Australia Greg Combet di Canberra, Australia, Jumat (7/11).

Komitmen kedua Protokol Kyoto akan menjadi topik besar dalam dialog iklim yang akan digelar di Doha pada akhir tahun ini. Australia akan menyampaikan komitmennya untuk membatasi emisi gas rumah kaca sejak 2013 hingga 2020. Ini sesuai dengan target Protokol Kyoto serta target bipartisan untuk mengurangi emisi gas buang hingga 5 persen hinga mencapai di bawah angka 2.000 pada 2020.

Combet juga mengatakan Australia akan mendorong agar Protokol Kyoto diperluas pada 2015. Senator dari Partai Hijau Australia (Green Party), Christine Milne mengatakan target yang lebih realistis bagi Australia adalah 25 hingga 40 persen.

Protokol Kyoto merupakan perjanjian global pertama yang ditandatangani untuk mengikat kewajiban negara dalam mengurangi emisi gas buang. Sedangkan Australia baru meratifikasi Protokol Kyoto pada 12 Desember 2007 sebagai salah satu langkah yang ditempuh pemerintahan Partai Buruh.(Ant/BEY)

Sumber: http://www.beritasatu.com/kuliner/82160-akibat-perubahan-iklim-kopi-arabika-terancam-punah.html

Perubahan iklim telah menjadi ancaman serius bagi pertumbuhan biji kopi.

Beberapa bulan yang lalu, sejumlah ilmuwan dan media telah mempublikasikan kemungkinan akibat dari perubahan iklim yang sangat ekstrim dapat menyebabkan punahnya biji kopi Arabika.

Ironisnya, laporan terbaru yang dirilis olehReuters menyatakan bahwa kepunahan biji kopi, khususnya kopi jenis Arabika dapat berlangsung lebih cepat karena semakin ekstrimnya perubahan cuaca di berbagai belahan dunia.

“Kepunahan kopi Arabika telah mencapai tahap yang sangat mengkhawatirkan,” kata Aaron Davis, kepala penelitian kopi Arabika di Royal Botanic Gardens.

Sebuah studi terbaru Royal Botanic Gardens, Inggris, yang bekerjasama dengan ilmuwan Ethiopia menyatakan, 99% daerah yang paling cocok untuk lokasi tumbuhnya biji kopi Arabika akan hilang di tahun 2080 mendatang.

Seperti diketahui, kopi merupakan tanaman yang rentan terhadap perubahan iklim dan suhu. Tanaman kopi jenis Arabika merupakan yang paling tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan iklim.

Hal ini tentunya memberikan kekhawatirkan bagi kalangan petani dan produsen di Ethiopia, yang menggantungkan hidup dan mata pencariannya pada biji kopi Arabika.

Sumber: http://www.tribunnews.com/2012/11/08/obama-akan-terus-perangi-perubahan-iklim

TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON –Barack Obama, yang baru kembali terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat (AS), mengisyaratkan akan membuat gebrakan dalam memerangi perubahan iklim dalam rupa terbaru.

Dalam periode sebelumnya, Obama berharap dapat membatasi emisi karbon yang bertanggung jawab atas naiknya suhu bumi, melalui sebuah produk undang-undang, namun kandas di Senat Amerika.

kita punya pekerjaan yang harus dilakukan, yaitu membebaskan diri dari minyak asing,” katanya.

Senator Harry Reid, Pemimpin Partai Demokrat, yang mengusung Obama, berjanji pihaknya akan menaruh perhatian pada persoalan perubahan iklim, namun ia tidak menawarkan solusi yang spesifik.

“Perubahan iklim adalah isu yang sangat penting bagi saya dan saya berharap kami bisa mengatasi hal itu,” kata Reid. “Seperti yang telah kita lihat dengan badai yang melanda negara kita dan dunia, kita perlu melakukan sesuatu tentang hal itu,” lanjutnya.

Dalam kampanyenya menjadi Presiden Amerika ke 45, Obama sempat juga menyinggung tentang persoalan perubahan iklim, dan berjanji untuk mempertahankan penggunaan batubara, di mana hampir 40 persen listrik berasal dari sumber energi penyebab polusi.

Beberapa anggota Partai Republik, menilai ‘jualan’ Obama dalam kampanyenya itu, meurpakan omong kosong, dan telah menolak dukungan Obama untuk energi alternatif terbarukan seperti matahari dan angin.

Tetapi dengan Republik yang menguasai mayoritas Parlemen, maka Obama kemungkinan akan menghadapi perjuangan berat untuk melewati setiap regulasi yang komprehensif dalam upaya pembatasan emisi karbon. (asiaone.com)

Sumber: http://economy.okezone.com/read/2012/11/06/19/714543/pengusaha-perlu-kembangkan-produk-berbasis-lingkungan

JAKARTA – Kalangan usaha menyadari adanya  tuntutan pengembangan produk berbasis lingkungan. Hal ini dilakukan guna merespon berbagai tantangan dinamika sosial ekonomi akan dampak perubahan iklim.

Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Rachmat Gobel mengatakan, tranformasi menuju green industry memerlukan adanya investasi yang masif, serta dukungan yang kondusif dalam mengembangkan berbagai inovasi.

“Salah satunya, perlu adanya suatu standar industri yang memungkinkan baik produsen maupun konsumen mendapatkan suatu produk green yang berkualitas,”  kata Rachmat Gobel dalam siaran tertulis di Jakarta, Selasa (6/11/2012).

Dia menambahkan, kepentingan konsumen yang mendambakan produk ramah lingkungan  dan kepentingan produsen yang menghendaki agar perbaikan proses produksi memenuhi kriteria ramah lingkungan yang tidak semata-mata melahirkan biaya dan mengurangi keuntungan.

Selain itu, upaya ini juga harus dipandang sebagai investasi dan perluasan daya penetrasi pasar untuk melahirkan keuntungan lebih besar di masa datang.

Menurutnya, skema insentif yang komprehensif diperlukan dan haruslah dipandang di dalam kerangka menginternalisasikan external cost yang tidak masuk dalam hitungan berbagai barang dan jasa yang bukan eco green product.

“Performance Standard salah satu titik awal untuk membuka pasar terhadap barang dan jasa yang selanjutnya dibarengi dengan insentif untuk meningkatkan kapasitas skala produksi dan pengurangan ongkos produksi,” jelas Rachmat.

Sekadar informasi, saat ini Indonesia menyumbang sekira lima persen dari emisi gas rumah kaca dunia. Riset yang dilakukan oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim menunjukkan Indonesia berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 2,3 Gt hingga 2030, atau senilai pengurangan 46 persen  dari emisi 2005. (gna)
(rhs)

Sumber: http://www.tribunnews.com/2012/11/06/indonesia-capai-kemajuan-signifikan-soal-perubahan-iklim

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Indonesia telah memberikan kontribusi dan capaian signifikan dalam berbagai upaya mengatasi dampak adanya perubahan iklim sejak diselenggarakannya United Nations Framework Climate Change Convention Konferensi Para Pihak Conference of Parties (COP-13) di Bali pada tahun 2007 yang telah melahirkan Bali Action Plan.

Tersusunnya Rencana Aksi Nasional  dan Daerah dalam penurunan emisi Gas Rumah Kaca(RAN/RAD GRK) serta pengembangan sistem inventarisasi GRK Nasional yang terukur, terlaporkan dan terverifikasi. Berbagai kemajuan lainnya dipaparkan pada 3rd Indonesia Carbon Update di berbagai sektor dak dilakukan oleh berbagai lembaga baik pemerintah maupun non-pemerintah termasuk keterlibatan swasta didalamnya.

Saat ini Indonesia menyumbang sekitar 5.0 persen dari emisi gas rumah kaca dunia. Riset yang dilakukan oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim menunjukkan bahwa Indonesia berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 2.3 Gt hingga tahun 2030, atau senilai pengurangan 46 persen dari emisi tahun 2005.

Menurut United Nation’s Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), pengurangan tersebut sama dengan 7 persen dari pengurangan total di dunia yang diperlukan untuk mencegah pemanasan global hingga lebih dari dua derajat centigrade. Masih banyak cara untuk mengurangi emisi lebih banyak lagi. Tetapi, pengurangan tersebut akan membutuhkan investasi dalam jumlah yang signifikan dan oleh karenanya memerlukan dukungan dunia internasional.

Dibawah kepemimpinan Presiden SBY, Indonesia telah memberikan kontribusi signifikan dalam upaya mengatasi perubahan iklim baik ditingkat global maupun nasional. Setelah menjadi tuan rumah bagi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim/ United Nations Framework Climate Change Convention Konferensi Para Pihak/Conference of Parties (COP-13) di Bali pada tahun 2007, Indonesia telah menyelenggarakan atau berpartisipasi dalam serangkaian kegiatan di tingkat global maupun nasional diantaranya menyusun Rencana Aksi Nasional/Daerah, pembangunan sistem inventarisai gas rumah kaca, penyiapan lembaga REDD+, pengembangan instrumen pendanaan maupun berbagai kegiatan pendukungnya seperti pemetaan maupun penelitian terkait.

“Saya merasa bangga bahwa pada pertemuan Indonesia Carbon Update(ICU)-3 di tahun ini telah dicapai banyak kemajuan di tingkat nasional. Ini menunjukkan bahwa adanya kesadaran dan komitmen bersama dalam mendukung berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah serta sekaligus kontribusi terhadap persoalan global,” kata Rachmat Witoelar, Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim yang juga Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim dalam rilis tertulisnya, Selasa (6/11/2012).

Next Page »