Archive for the ‘XYZ – Pojok Kanan’ Category

Agus Purwanto, FISIKAWAN TEORETIK ITS
Sumber : KOMPAS, 19 November 2011
Dunia riset kita masih karut-marut dan derita para periset belum akan berakhir karena gaji dan penghargaan masih jauh dari memadai. Demikian isi utama laporan Kompas tentang riset dan aneka masalahnya di Tanah Air.
Dari sekian banyak masalah riset yang disorot, diulas, dan diusulkan oleh Liek Wilardjo (Kompas, 30/9/2011) serta Tri Ratnawati dan Satryo BS (Kompas, 1/11/2011), ada satu yang masih belum mendapat perhatian, yakni ilmuwan sejati yang telah eksis. Di tengah keadaan yang jauh dari kondusif, dengan berbagai cara dan komitmen, mereka berhasil membuktikan kerja sebagai ilmuwan sejati.
Jurnal Internasional
Ilmuwan, sesuai namanya, adalah orang yang melakukan pencarian sesuatu yang baru atau orisinal dengan kerja ilmiah. Ilmuwan lekat dengan orisinalitas. Inilah yang membedakan ilmuwan dengan yang bukan ilmuwan. Teknisi dan laboran juga melakukan kerja ilmiah, tetapi sifatnya rutin dengan prosedur dan hasil yang telah diketahui.
Dosen bergelar doktor, bahkan profesor, dapat saja sangat piawai menjelaskan teori-teori rumit. Namun, selama belum punya kontribusi orisinal yang tertulis dan dimuat di jurnal internasional, ia belum ilmuwan: hanya teknisi teoretis. Ia dosen atau pengajar biasa yang mungkin sangat pintar atau hafal di luar kepala karena telah mengajar subyek itu bertahun-tahun.
Barometer kerja ilmuwan hanya dua: publikasi di jurnal internasional atau paten. Di suatu universitas, bisa jadi ada seribu dosen, sekian ratus doktor, dan sekian puluh guru besar. Namun, hanya beberapa yang mampu eksis sebagai ilmuwan. Contohnya di UI, menurut Terry Mart (Kompas, 24/9/2011), dari sekitar 3.000 dosen, hanya 200 yang diklasifikasi sebagai dosen inti penelitian, sedangkan sisanya adalah dosen pengajar dan struktural. Dari 200 dosen ilmuwan ini, UI berharap menghasilkan 150 publikasi internasional per tahun.
Ilmuwan dalam negeri dengan publikasi internasional jelas orang hebat, bahkan mungkin setengah gila. Dengan berbagai kendala yang ada, mereka mampu bertahan, bahkan menghasilkan karya orisinal. Setiap tahun, sekian ratus, bahkan sekian ribu, orang pintar dikirim studi lanjut di luar negeri. Mereka pun mendapatkan gelar akademik tertinggi doktor, tetapi hanya sedikit yang terus eksis sebagai ilmuwan ketika kembali ke Tanah Air.
Penelitian yang dipublikasi di jurnal internasional, selain membuktikan kualitas sang peneliti, juga memperkenalkan peneliti dan institusinya ke tingkat internasional. Pada saatnya, normal tidaknya perguruan tinggi harus diukur dari keluaran publikasi internasionalnya.
Atase Pendidikan Indonesia di India Dr Son Kuswadi, beberapa waktu lalu, menemani beberapa rektor PTN berkunjung ke Indian Institute of Technology (IIT) di New Delhi. Fasilitas di IIT ini relatif terbatas dan lebih kuno daripada fasilitas PTN besar di Indonesia. Di balik keterbatasan ini ternyata IIT tergolong luar biasa. Mereka menghasilkan 1.958 publikasi internasional per tahun dari total 500 dosen.
Keadaan tersebut terbalik dengan ITB. Rektor ITB yang bergabung dalam rombongan tersebut berkomentar, ITB hanya punya 500 publikasi internasional per tahun dari sekitar 1.200 dosennya. Sementara ITS baru 103 publikasi per tahun dari sekitar 1.100 dosen yang dimiliki.
Insentif Khusus
Kementerian Riset dan Teknologi perlu membuat program insentif khusus dan besar bagi akademisi atau peneliti yang telah menghasilkan produk berupa publikasi di jurnal internasional. Besar insentif untuk satu publikasi internasional dengan semua penulis Indonesia adalah Rp 100 juta. Program insentif telah ada, tetapi baru sekadar cukup untuk membayar biaya muat publikasi ketika artikel diterima suatu jurnal.
Angka dosen ilmuwan dan angka harapan publikasi per tahun UI cukup menggambarkan kemampuan umum ilmuwan kita. Angka-angka tersebut secara kasar menyatakan, satu ilmuwan menghasilkan satu publikasi dalam 1 tahun 4 bulan. Artinya, insentif Rp 100 juta jadi tambahan gaji sebesar Rp 6 juta per bulan. Angka yang belum seberapa jika dibandingkan gaji peneliti di Malaysia, sekitar Rp 45 juta per bulan, tetapi sangat berarti bagi para dosen ilmuwan di Indonesia. Kalaupun ada dosen yang mampu menghasilkan dua atau tiga publikasi internasional per tahun, insentif tetap harus diberikan secara utuh karena memang layak diberikan atas kemampuannya.
Setiap tahun, pemerintah menggelontorkan dana hibah penelitian yang diperebutkan dan dibagikan berdasarkan proposal penelitian. Masalahnya, hasil penelitian yang dibiayai dana hibah ini hanya berupa laporan yang sifatnya formalitas, tak sampai ke taraf publikasi internasional. Tak ada mekanisme penilaian yang efektif atas hasil penelitian. Barangkali inilah alasan mengapa Kemristek belum berencana menaikkan gaji para peneliti.

Pemberian insentif berbasis karya berupa publikasi di jurnal internasional akan memotong rantai penelitian basa-basi. Program ini sekilas terasa aneh: bagaimana mungkin seseorang dapat berkarya jika tak ada anggaran dan fasilitas seperti dikeluhkan selama ini? Kenyataannya memang ada yang eksis dalam berbagai keterbatasan ini. Mereka harus diapresiasi secara khusus. Merekalah ilmuwan sekaligus pahlawan sejati yang mampu menghidupkan tradisi riset dan meningkatkan pengakuan internasional bagi lembaga riset dan pendidikan tinggi Indonesia. ●

Dikutip dari: http://budisansblog.blogspot.com/2011/11/insentif-berbasis-publikasi.html

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia[1] dan bahasa persatuan bangsa Indonesia.[2] Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja.

Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu.[3] Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang)[4] dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan “Bahasa Indonesia” diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan “imperialisme bahasa” apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan.[5] Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu.[6] Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya,[7] sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.

Fonologi dan tata bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah.[8] Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu.[9]

Daftar isi[sembunyikan]

[sunting] Sejarah

Lihat pula Sejarah bahasa Melayu.

[sunting] Masa lalu sebagai bahasa Melayu

Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.

Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek “o” sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi beragam.

Istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.

Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin meluas, tampak dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.

Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat “o” seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini.

Dalam perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (= Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka (= Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah Melayu itui berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat “e”.

Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang semuanya berlogat “a” seperti bahasa Melayu Baku.

Penduduk asli Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah nenek moyang suku Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.

Secara sudut pandang historis juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto Melayu (Melayu Tua/Melayu Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah mengalami kurun masa yang panjang sampai dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnis.

M. Muhar Omtatok, seorang Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan sebagai berikut: “Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas keturunan Batak yang mengaku Orang Kampong – Puak Melayu

Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa[10] dan Pulau Luzon.[11] Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.

Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya.[rujukan?] Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.

Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.

Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.

Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di “dunia timur”.[12] Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).[13] Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.

Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.

Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman

[sunting] Bahasa Indonesia

Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah “embrio” bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.

Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.[12] Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.

Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur (“Komisi Bacaan Rakyat” – KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan.[14] Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai “bahasa persatuan bangsa” pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,

“Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.”[15]

Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.[16]

[sunting] Peristiwa-peristiwa penting

Gaya penulisan artikel atau bagian ini tidak atau kurang cocok untuk Wikipedia.
Silakan lihat halaman pembicaraan. Lihat juga panduan menulis artikel yang lebih baik.
  • Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
  • Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.[17]
  • Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
  • Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
  • Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
  • Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
  • Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
  • Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
  • Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
  • Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
  • Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
  • Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
  • Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
  • Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
  • Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
  • Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.

[sunting] Penyempurnaan ejaan

Ejaan-ejaan untuk bahasa Melayu/Indonesia mengalami beberapa tahapan sebagai berikut:

[sunting] Ejaan van Ophuijsen

Ejaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:

  1. Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
  2. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
  3. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
  4. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dsb.

[sunting] Ejaan Republik

Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini juga dikenal dengan nama ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:

  1. Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
  2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
  3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
  4. Awalan di– dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.

[sunting] Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)

Konsep ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini.

[sunting] Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)

Ejaan ini diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia. Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin dibakukan.

Perubahan:

Indonesia
(pra-1972)

Malaysia
(pra-1972)

Sejak 1972

tj ch c
dj j j
ch kh kh
nj ny ny
sj sh sy
j y y
oe* u u

Catatan: Tahun 1947 “oe” sudah digantikan dengan “u”.

[sunting] Senarai kata serapan dalam bahasa Indonesia

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kata serapan dalam bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terbuka. Maksudnya ialah bahwa bahasa ini banyak menyerap kata-kata dari bahasa lain.

Asal Bahasa

Jumlah Kata

Belanda 3.280 kata
Inggris 1.610 kata
Arab 1.495 kata
Sanskerta-Jawa Kuno 677 kata
Tionghoa 290 kata
Portugis 131 kata
Tamil 83 kata
Parsi 63 kata
Hindi 7 kata
Bahasa daerah: Jawa, Sunda, dll.

Sumber: Buku berjudul “Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia” (1996) yang disusun oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang bernama Pusat Bahasa).

[sunting] Penggolongan

Indonesia termasuk anggota dari Bahasa Melayu-Polinesia Barat subkelompok dari bahasa Melayu-Polinesia yang pada gilirannya merupakan cabang dari bahasa Austronesia. Menurut situs Ethnologue, bahasa Indonesia didasarkan pada bahasa Melayu dialek Riau yang dituturkan di timur laut Sumatra

[sunting] Distribusi geografis

Bahasa Indonesia dituturkan di seluruh Indonesia, walaupun lebih banyak digunakan di area perkotaan (seperti di Jakarta dengan dialek Betawi serta logat Betawi).

Penggunaan bahasa di daerah biasanya lebih resmi, dan seringkali terselip dialek dan logat di daerah bahasa Indonesia itu dituturkan. Untuk berkomunikasi dengan sesama orang sedaerah kadang bahasa daerahlah yang digunakan sebagai pengganti untuk bahasa Indonesia.

[sunting] Kedudukan resmi

Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting seperti yang tercantum dalam:

  1. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, ”Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
  2. Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.

Dari Kedua hal tersebut, maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai:

  1. Bahasa kebangsaan, kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.
  2. Bahasa negara (bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia)

[sunting] Fonologi

Bahasa Indonesia mempunyai 26 fonem yaitu 21 huruf mati dan 5 huruf hidup. Di samping itu sistem tata bahasanya sederhana, di mana:

Vokal

 

Depan

Madya

Belakang

Tertutup

Tengah

e ə o

Hampir Terbuka

(ɛ) (ɔ)

Terbuka

a

Bahasa Indonesia juga mempunyai diftong /ai/, /au/, dan /oi/. Namun, di dalam suku kata tertutup seperti air kedua vokal tidak diucapkan sebagai diftong

Konsonan

 

Bibir

Gigi

Langit2
keras

Langit2
lunak

Celah
suara

Sengau

m n ɲ ŋ

Letup

p b t d c ɟ k g ʔ

Desis

(f) s (z) (ç) (x) h

Getar/Sisi

l r

Hampiran

w j
  • Vokal di dalam tanda kurung adalah alofon sedangkan konsonan di dalam tanda kurung adalah fonem pinjaman dan hanya muncul di dalam kata serapan.
  • /k/, /p/, dan /t/ tidak diaspirasikan
  • /t/ dan /d/ adalah konsonan gigi bukan konsonan rongga gigi seperti di dalam bahasa Inggris.
  • /k/ pada akhir suku kata menjadi konsonan letup celah suara
  • Penekanan ditempatkan pada suku kata kedua dari terakhir dari kata akar. Namun apabila suku kata ini mengandung pepet maka penekanan pindah ke suku kata terakhir.

[sunting] Sistem Penulisan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Alphabet Indonesia

Huruf besar

Huruf kecil

IPA

Huruf besar

Huruf kecil

IPA

A a /ɑː/ N n /n/
B b /b/ O o /ɔ, o/
C c /tʃ/ P p /p/
D d /d/ Q q /q/
E e /e, ɛ/ R r /r/
F f /f/ S s /s/
G g /ɡ/ T t /t/
H h /h/ U u /u/
I i /i/ V v /v, ʋ/
J j /dʒ/ W w /w/
K k /k/ X x /ks/
L l /l/ Y y /j/
M m /m/ Z z /z/

[sunting] Tata bahasa

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tata bahasa Indonesia

Dibandingkan dengan bahasa-bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak menggunakan kata bergender. Sebagai contoh kata ganti seperti “dia” tidak secara spesifik menunjukkan apakah orang yang disebut itu lelaki atau perempuan. Hal yang sama juga ditemukan pada kata seperti “adik” dan “pacar” sebagai contohnya. Untuk memerinci sebuah jenis kelamin, sebuah kata sifat harus ditambahkan, “adik laki-laki” sebagai contohnya.

Ada juga kata yang berjenis kelamin, seperti contohnya “putri” dan “putra”. Kata-kata seperti ini biasanya diserap dari bahasa lain. Pada kasus di atas, kedua kata itu diserap dari bahasa Sanskerta melalui bahasa Jawa Kuno.

Untuk mengubah sebuah kata benda menjadi bentuk jamak digunakanlah reduplikasi (perulangan kata), tapi hanya jika jumlahnya tidak terlibat dalam konteks. Sebagai contoh “seribu orang” dipakai, bukan “seribu orang-orang”. Perulangan kata juga mempunyai banyak kegunaan lain, tidak terbatas pada kata benda.

Bahasa Indonesia menggunakan dua jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu “kami” dan “kita”. “Kami” adalah kata ganti eksklusif yang berarti tidak termasuk sang lawan bicara, sedangkan “kita” adalah kata ganti inklusif yang berarti kelompok orang yang disebut termasuk lawan bicaranya.

Susunan kata dasar yaitu Subyek – Predikat – Obyek (SPO), walaupun susunan kata lain juga mungkin. Kata kerja tidak di bahasa berinfleksikan kepada orang atau jumlah subjek dan objek. Bahasa Indonesia juga tidak mengenal kala (tense). Waktu dinyatakan dengan menambahkan kata keterangan waktu (seperti, “kemarin” atau “esok”), atau petunjuk lain seperti “sudah” atau “belum”.

Dengan tata bahasa yang cukup sederhana bahasa Indonesia mempunyai kerumitannya sendiri, yaitu pada penggunaan imbuhan yang mungkin akan cukup membingungkan bagi orang yang pertama kali belajar bahasa Indonesia.

[sunting] Awalan, akhiran, dan sisipan

Bahasa Indonesia mempunyai banyak awalan, akhiran, maupun sisipan, baik yang asli dari bahasa-bahasa Nusantara maupun dipinjam dari bahasa-bahasa asing.

Awalan

Fungsi (pembentuk)

Perubahan bentuk

Kaitan

ber- verba be-; bel- per-
ter- verba; adjektiva te-; tel- ke-
meng- verba (aktif) me-; men-; mem-; meny- di-; pe-; ku-; kau;
di- verba (pasif) meng-
ke- nomina; numeralia; verba (percakapan) ter-
per- verba; nomina pe-; pel- ber-
peng- nomina pe-; pen-; pem-; peny- meng-
se- klitika; adverbia
ku-, kau- verba (aktif) me-

[sunting] Dialek dan ragam bahasa

Lihat pula: Varian-varian bahasa Melayu

Pada keadaannya bahasa Indonesia menumbuhkan banyak varian yaitu varian menurut pemakai yang disebut sebagai dialek dan varian menurut pemakaian yang disebut sebagai ragam bahasa.

Dialek dibedakan atas hal ihwal berikut:

  1. Dialek regional, yaitu rupa-rupa bahasa yang digunakan di daerah tertentu sehingga ia membedakan bahasa yang digunakan di suatu daerah dengan bahasa yang digunakan di daerah yang lain meski mereka berasal dari eka bahasa. Oleh karena itu, dikenallah bahasa Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta (Betawi), atau bahasa Melayu dialek Medan.
  2. Dialek sosial, yaitu dialek yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu atau yang menandai tingkat masyarakat tertentu. Contohnya dialek wanita dan dialek remaja.
  3. Dialek temporal, yaitu dialek yang digunakan pada kurun waktu tertentu. Contohnya dialek Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu zaman Abdullah.
  4. Idiolek, yaitu keseluruhan ciri bahasa seseorang. Sekalipun kita semua berbahasa Indonesia, kita masing-masing memiliki ciri-ciri khas pribadi dalam pelafalan, tata bahasa, atau pilihan dan kekayaan kata.

Ragam bahasa dalam bahasa Indonesia berjumlah sangat banyak dan tidak terhad. Maka itu, ia dibagi atas dasar pokok pembicaraan, perantara pembicaraan, dan hubungan antarpembicara.

Ragam bahasa menurut pokok pembicaraan meliputi:

  1. ragam undang-undang
  2. ragam jurnalistik
  3. ragam ilmiah
  4. ragam sastra

Ragam bahasa menurut hubungan antarpembicara dibagi atas:

  1. ragam lisan, terdiri dari:
    1. ragam percakapan
    2. ragam pidato
    3. ragam kuliah
    4. ragam panggung
  2. ragam tulis, terdiri dari:
    1. ragam teknis
    2. ragam undang-undang
    3. ragam catatan
    4. ragam surat-menyurat

Dalam kenyataannya, bahasa baku tidak dapat digunakan untuk segala keperluan, tetapi hanya untuk:

  1. komunikasi resmi
  2. wacana teknis
  3. pembicaraan di depan khalayak ramai
  4. pembicaraan dengan orang yang dihormati

Selain keempat penggunaan tersebut, dipakailah ragam bukan baku.

[sunting] Lihat pula

[sunting] Referensi

  1. ^ Pasal 36 Undang-Undang Dasar RI 1945
  2. ^ Butir ketiga Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928
  3. ^ Kridalaksana H. 1991. Pendekatan tentang Pendekatan Historis dalam Kajian Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia. Dalam Kridalaksana H. (penyunting). Masa Lampau bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
  4. ^ Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I 1939 di Solo: “jang dinamakan ‘Bahasa Indonesia’ jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari ‘Melajoe Riaoe’ akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat diseloeroeh Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia”, dikutip di Pendahuluan KBBI cetakan ketiga.
  5. ^ Asmadi T.D. Arti Tanggal 2 Mei bagi Bahasa Indonesia. Laman Lembaga Pers Dr. Sutomo. Edisi 08 Februari 2010. diakses 5 Maret 2010.
  6. ^ Depdiknas Terbitkan Peta Bahasa Blog BahasaKita 4 Maret 2009, mirror dari berita AntaraOnline edisi 22 Oktober 2008.
  7. ^ http://www.ohio.edu/LINGUISTICS/indonesian/index.html Why Indonesian is important to learn. Situs pengajaran bahasa Indonesia di Ohio State University.
  8. ^ Farber, Barry. J. How to learn any language quickly, enjoyably and on your own. Citadel Press. 1991.
  9. ^ Eliot, J., Bickersteth, J. Sumatra Handbook. Footprint. 2000.
  10. ^ Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangka tahun abad ke-9) dan di dekat Bogor (Prasasti Bogor) dari abad ke-10 menunjukkan adanya penyebaran penggunaan bahasa ini di Pulau Jawa
  11. ^ Keping Tembaga Laguna (900 M) yang ditemukan di dekat Manila, Pulau Luzon, berbahasa Melayu Kuna, menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
  12. ^ a b (Inggris)Best of The Best (Crème de la Crème)
  13. ^ Hal ini tidak mengherankan karena banyak dari pengusaha penerbitan di kala itu berasal dari etnis Tionghoa.
  14. ^ Balai Pustaka, Berbenah Setelah Satu Abad. Kompas daring, 25 November 2009.
  15. ^ [1]
  16. ^ Teeuw, A (1986). Modern Indonesian Literature I.
  17. ^ Etek, Azizah (2008). Kelah Sang Demang, Jahja Datoek Kajo, Pidato Otokritik di Volksraad 1927 – 1939

http://www.thejakartaglobe.com/myjakarta/my-jakarta-sari-ex-activist/469775

My Jakarta: Sari, Ex-Activist
Maria Yuniar | October 06, 2011

Sari used to be an activist who would volunteer her time to campaign on environmental issues. For a while, she was actively involved in an international nongovernmental organization that was seeking to put the spotlight on issues that were important to her.

But she eventually became disillusioned with NGOs, fearing that too much of their money was being spent on staff,
and the issues on which they campaigned could be too easily determined by the whims of donors.

Sari — who has chosen not to give her real name — tells My Jakarta how greenwashing is changing the shape of activism in Indonesia.

Why did you first volunteer with a nongovernmental organization?

It was in 2008, during college. Back then, to finish an assignment, my lecturer urged me to gather information from an organization working on the issue I was writing about — the environment. I decided my report would be on the topic ‘what have environmental organizations done for the earth.’ That led me to become a volunteer for an international NGO that campaigned on the environment.

What did you do as an activist?

I was involved in projects on climate change. As volunteers, we tried to raise public awareness about the issue. We informed people about how the climate was changing and the impact that was having. It was exciting, and I didn’t feel like leaving the NGO even after I completed my report. But then, something ended my desire to volunteer for the organization.

What stopped you?

After being involved for a while, something started to bug me. I realized that there were many conflicts of interest in the NGO I was involved in. This happened in other NGOs as well. I sensed that the NGO was no longer working the way it was supposed to work. The longer I was involved with the NGO, the more it felt like a corporation.

Day by day, it became more profit-oriented and relaxed its idealism. It became less critical, and didn’t put effort into an issue unless it was attractive to potential donors. By the time I realized this, I’d graduated from university, so I decided to find a permanent job instead. My heart just couldn’t stay committed to volunteer activities anymore.

Can you provide any examples of wrongdoing?

When there were concerns about the palm oil industry in Indonesia, many environmental NGOs made it their No. 1 focus, because people would pay attention to it and the NGO could raise a lot of money from it. The same goes with climate change. The issue continues, but the NGOs stopped campaigning on it when the public stopped talking about it.

But isn’t that understandable, given NGOs need money for their campaigns?

That’s true, they do. There are NGOs that declare that they pay their workers from donations. But I know that sometimes more donor money is spent on human resources than actual campaigning, when it should be the other way around. The NGO I used to be a part of claimed that it didn’t have any relationships with corporations. But in reality, it maintained connections with companies that would give it donations when the NGO pursued certain issues. In my opinion, those weren’t independent donations but more like greenwash from the companies.

What’s greenwash?

It is when a party that is the cause of a particular problem gives a donation to an organization that tries to fix the problem. For example, a cigarette company that has destroyed the marine ecosystem, they’d give a certain percentage of their profit to help revive that ecosystem.

Can anything be done to help NGOs stay true to their objectives?

NGOs should only hire people aged between 17 and the early 20s, because people at that age are still pure and eager to express themselves without any conflict of interest. They’re still idealistic and naive.

What message do you have for those concerned about a social or environmental issue?

Anyone who wants to make a change can always start with him or herself, because you won’t be politicized and what you do is actually more concrete than shouting on the roads. I don’t mean to offend anyone who wants to get involved in volunteering with NGOs, but it’s hard to find a ‘clean’ NGO. I think if people seek to get involved in working on a social issue, it will teach you some priceless lessons in life.

Sari was talking to Maria Yuniar.

 
Sumber: http://akusukamenulis.wordpress.com/about-dwriter-and-downer/

Maret 29, 2011 oleh akusukamenulis

 Oleh: Arisa Fukushima / Nurfita

Langit tampak berawan kelabu saat saya menginjakkan kaki di halaman Perpustakaan Nasional.  Jakarta memang tengah dirundung mendung siang ini.  Sebuah bangunan serupa pendopo yang jauh memanjang ke belakang menyambut siapa saja yang datang berkunjung.  Gedung Perpustakaan Nasional Republik Indonesia berdiri menjulang di samping pendopo.

Hari ini saya berencana mengurus ISBN untuk buku antologi yang akan segera terbit.  Forum Lingkar Pena dan Komunitas Penulis Muda Indonesia tengah punya ‘gawe‘ bareng di Semarang.  Berhubung saat ini saya tengah melanjutkan kuliah di sebuah kampus di kawasan Jakarta Selatan, maka pak Wardjito pun meminta saya untuk mengurus ISBN antologi tersebut.

Sebuah pengalaman baru.  Ini adalah kali pertama saya berkunjung ke Pepusnas di Salemba, Jakarta Pusat.  Sebelumnya saya memang pernah ke daerah Salemba, tepatnya SMA 68 Jakarta, tapi bukan dalam kegiatan kepenulisan melainkan mengajar.  Rute yang dilalui mungkin sedikit berbeda karena siang ini saya berangkat dari belakang Sarinah.

Usai menyampaikan permohonan data riset untuk tugas Sistem Informasi Manajemen ke gedung Miele, saya pun memisahkan diri dari kelompok.  Saya naik taksi ke Salemba, sedangkan uni Rika dan mas Ali naik mobil melanjutkan perjalanan ke Kantor Pusat DJP di Gatot Subroto.  Alhamdulillah kondisi jalan lancar dan bebas macet, perjalanan Sarinah-Salemba memakan waktu sekitar 20 menit.

Pak Wardjito sempat memberi tahu saya untuk menemui Ir. Hidayat Edi Pramono di lantai 2 Perpusnas.  Tapi sesampainya di halaman Perpusnas, saya sempat ragu : gedung mana yang dimaksud oleh pak Wardjito via SMS?

Satpam di pos depan kemudian menunjukkan gedung tempat pengurusan ISBN yang dimaksud.  Saya melangkah masuk ke gedung dan memperhatikan kondisi sekitar.  Sebuah pertanyaan baru muncul :  Mana bukunya?  Gedung Perpusnas kok gak ada jajaran buku satu pun?

Setelah naik lift ke lantai 2 barulah saya paham kalau bagian gedung ini khusus untuk mengurusi keperluan administrasi Perpusnas.  Lobi di lantai 2 tampak sederhana, hanya ada beberapa sofa dan dua meja disana.  Dua buah lukisan tampak terpasang di dinding, satu lukisan diambil dari kisah Rama Sinta di Kitab Ramayana dan lukisan yang lain menggambarkan pemandangan pegunungan dengan delapan burung merpati putih bertengger di atas pohon.

Bagian pengurusan ISBN/KDT terletak di sebelah kiri jalan masuk, ruang terdepan.  Ada beberapa petugas di dalam ruangan, dan salah seorang mengatakan bahwa saat itu masih jam istirahat, saya diminta masuk 20 menit lagi.  Urung keluar dari gedung, saya memutuskan untuk menunggu di lobi saja.  Mengedarkan pandang ke luar jendela di lantai 2, maka gedung Kementerian Sosial akan tampak bertetangga dengan kawasan Perpusnas.  Di seberang jalan sana, tampak sebuah bangunan bergaya Minang menjulang tinggi di tengah kesibukan lalu lintas ibu kota.  Entah gedung apa, sebuah bank, perusahaan asuransi, atau rumah makan padang.

Bosan menunggu, saya kembali masuk ke ruangan ISBN/KDT.  Seorang bapak menyilakan saya duduk di dalam.  Tak lama kemudian saya dipanggil oleh petugas lain, kali ini seorang ibu separuh baya.  Berkas permohonan ISBN saya berikan kepadanya untuk diperiksa.  Entah karena saya sedang letih atau apa, saya merasa pelayanan ibu ini kurang ramah.  Ia menanyakan beberapa hal terkait penerbit buku, juga menanyakan beberapa hal lain.  Sepertinya ia tidak puas dengan jawaban yang saya berikan hingga seorang bapak meminta berkas saya dari ibu tersebut.  Ibu itu masih kurang ramah dan saya terus memerhatikan ibu itu sampai ia beralih ke pekerjaan yang lain.  Ah, andai saja konsep pelayanan prima itu bisa dilakukan oleh semua pegawai di negeri ini.

Dalam pelayanan bapak inilah kemudian saya paham mengenai kekurangan berkas ISBN yang saya ajukan.  Kekurangannya tidak fatal karena hanya terkait logo penerbit yang tidak dicantumkan di kover depan, tapi tetap harus diperbaiki.  Maka saya pun menyetujui untuk merevisi berkas.  Bapak itu pun memberikan dua buah formulir terkait syarat-syarat pengajuan ISBN di Perpusnas.  Berikut ini adalah isi kedua formulir tersebut  :

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

National Library of Indonesia

National ISBN Agency

Perlu kami beritahukan kepada Saudara bahwa untuk berperan aktif dalam penggunaan/pemakaian nomor ISBN/KDT, Saudara dimohon untuk melengkapi persyaratan-persyaratan sebagai berikut  :

A.  PERSYARATAN UNTUK ANGGOTA BARU

1.  Mengisi formulir surat pernyataan disertai dengan stempel penerbit

2.  Membuat surat permohonan atas nama penerbit (berstempel) dari buku yang diterbitkan

3.  Mengirimkan fotokopi  :  Halaman judul, Balik halaman judul (dapat diketahui pengarang dan penerbit buku yang bersangkutan), daftar isi, kata pengantar.

B.  PERSYARATAN UNTUK ANGGOTA LAMA

Hanya butir 2 dan 3 saja yang perlu dikirimkan kepada Tim ISBN/KDT.  Setelah buku diterbitkan, kami mohon kesediaan saudara untuk mengirimkan 2 (dua) eksemplar dari hasil terbitan tersebut kepada Tim ISBN/KDT Perpustakaan Nasional RI agar kami dapat memantai pemakaian ISBN/KDT Saudara.

KORESPONDENSI/INFORMASI  :

Telepon  :  (021) 929209 79

Fax           :  (021) 392 7919; (021) 319 084 79

E-mail     :  isbn.indonesia@gmail.com

Pos           :  Perpustakaan Nasional RI

Direktorat Deposit Bahan Pustaka

Sub Direktorat Bibliografi

Tim ISBN/KDT

Jalan Salemba Raya 28 A / Kotak Pos 3624

Jakarta 10002

LAYANAN YANG DISEDIAKAN  :

1.  Nomor ISBN & KDT

2.  Nomor ISBN & KDT + Barcode

Untuk poin pertama di atas, formulir surat pernyataan berisi keterangan sebagai berikut  :

SURAT PERNYATAAN

Dengan surat pernyataan ini kami  :

Penerbit                                                     :

Alamat                                                        :

Telp/Fax                                                    :

E-Mail                                                          :

Nama Penanggung Jawab                   :

Rata-rata terbitan tiap tahun            :  ………. Judul

Menyatakan bersedia ikut mengambil bagian dalam system ISBN dan KDT (Katalog Dalam Terbitan).  Demikian agar badan yang bertanggung jawab menangani masalah ini menjadi maklum.

Surat pernyataan ini kami sampaikan kepada Tim ISBN/KDT PERPUSTAKAAN NASIONAL RI.  Jl. Salemba raya No. 28 A, Kotak Pos 3624 Jakarta 10002, sebagai tindak lanjut dari pertemuan ilmiah ISBN.

….., …………… 2011

Pimpinan penerbit

(………………………)

Saya sempat bertanya, apakah pengurusan ISBN harus datang langsung ke gedung Perpusnas?  Ternyata pengurusan ISBN/KDT bisa dilakukan via fax dan pelayanan selanjutnya akan dilakukan via imel.  Kebijakan ini tentu saja akan sangat memudahkan penerbit yang ada di luar Jakarta, terlebih lagi di luar Jawa.  Selain itu, pengurusan ISBN ini pun tidak dipungut biaya alias gratis.

Usai sholat dzuhur di Masjid Ilmi di bagian belakang, saya berkeliling untuk melihat-lihat kawasan Perpusnas.  Pendopo yang saya maksudkan di awal tulisan ini ternyata semacam aula yang digunakan untuk acara-acara pertemuan atau seminar lokal dan nasional.

Pintu masuk perpustakaan ternyata terletak di bagian tengah gedung bertingkat.  Satu atap dengan gedung administrasi, hanya saja pintu masuknya sengaja dipisah.  Sebuah relief besar dari batu pualam putih akan menyambut setiap pengunjung perpustakaan.  Beberapa papan pengumuman dan buku-buku terpajang di etalase kaca.  Sudut-sudut lobi digunakan untuk area hotspotdan hampir semuanya penuh oleh pengunjung.

Di sebuah ruang tunggu, di depan ruangan bertuliskan “Keanggotaan”, tampak beberapa pengunjung duduk-duduk mengobrol.  Sengaja saya melongok ke dalam melalui dinding ruangan yang terbuat dari kaca, ruangan “Keanggotaan” itu tampak sepi dan gelap.  Saya pun bertanya ke bagian informasi dan mendapati 4 orang ada di sana.  Ternyata untuk pendaftaran keanggotaan baru Perpusnas dan beberapa bagian perpustakaan sedang ditutup untuk beberapa hari.  Perpustakaan akan buka kembali seperti biasa di bulan April.  Sedang stock opname, begitu kata salah satu petugas.

Ketika hari menjelang sore, saya kembali menuju ke Gatot Subroto naik taksi.  Harus bergerak cepat jika tak ingin terjebak macet Jakarta di sore hari.  Uni Rika dan mas Ali sudah menunggu di Kanpus untuk bersama-sama pulang ke Bintaro.

Sepanjang perjalanan, saya mencoba mengingat-ingat lagi pengalaman di Perpusnas.  Ternyata pengurusan ISBN yang selama ini hanya saya baca via mesin search engine sudah saya alami sendiri.  Ada banyak kemudahan pelayanan birokrasi memang, walau masih ada kekurangan.  Kritik atas pustakawan yang jutek, tidak ramah, dan jauh dari budaya buku ternyata masih banyak ditemui di banyak perpustakaan, tak terkecuali di Perpusnas.  Hmmm, literasi memang masih menjadi momok dalam masyarakat kita.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah  :  ketika pelayanan birokrasi saja bisa pelan-pelan ditingkatkan, kenapa tidak dengan budaya membaca?  (blog.akusukamenulis)