Archive for the ‘REDD lawan Sawit’ Category

http://id.berita.yahoo.com/berjudi-dengan-hutan-indonesia.html

 

Pemerintah Indonesia sudah menetapkan Kalimantan Tengah sebagai daerah percontohan pelaksanaan skema ekonomi REDD+ (Reducing Emissions From Deforestation and Land Degradation/mengurangi emisi karbondioksida dari penggundulan hutan dan kerusakan lahan).

Skema ini memungkinkan Indonesia mendapat dana miliaran dolar dari berbagai negara maju untuk tetap menjaga hutannya asri sehingga dapat membantu menyerap emisi karbondioksida yang ada di Bumi akibat berbagai aktivitas industri, transportasi, dan ekonomi secara umum.

Meski begitu, di saat bersamaan, luas lahan kelapa sawit serta kawasan pertambangan masih terus bertambah. Bahkan, rencana induk pengembangan Kalimantan Tengah ingin menjadikan wilayah tersebut sebagai koridor energi dan perkebunan.

Bagaimana bisa di saat bersamaan, ketika Indonesia berniat menjaga kelestarian hutannya, tapi tak menghentikan aktivitas pertambangan atau perluasan lahan kelapa sawit di lahan yang sama? Tidakkah perlindungan hutan dan eksplorasi tambang serta perkebunan akan tumpang-tindih di wilayah tersebut? Apa logikanya?

Peneliti Inggris Larry Lohmann dari lembaga The Corner House yang berfokus pada politik energi mengatakan, pendekatan REDD+ dan pengembangan kelapa sawit di saat bersamaan memang tidak akan mungkin dilakukan. Bahkan, negara-negara yang tergiur dengan proyek REDD+ ini, seperti Indonesia, malah kemungkinan besar akan mengalami kerugian.

Pengembangan proyek REDD, menurut Larry, awalnya berdasar pada kegelisahan negara-negara maju soal perubahan iklim. Pembatasan emisi karbondioksida untuk mengurangi dampak perubahan iklim akan membatasi aktivitas ekonomi negara-negara maju tersebut. REDD menjadi dalih agar negara-negara maju tersebut tetap bisa mengeksplorasi bahan bakar fosilnya, sambil di saat bersamaan mengeluarkan biaya pada negara-negara berkembang untuk terus menjaga hutan.

Misalnya saja Norwegia, negara ini sudah memberikan $1 miliar pada Indonesia untuk melaksanakan proyek REDD di Kalimantan Tengah. Di saat bersamaan, Norwegia memiliki cadangan minyak bumi yang besar serta akvititas perkapalan yang mendukung ekonominya.

Dengan mengeluarkan uang untuk REDD ke beberapa negara, salah satunya Indonesia, Norwegia tetap menggantungkan ekonominya pada aktivitas padat karbon seperti minyak dan perkapalan tersebut.”REDD ini hanya untuk melindungi penggunaan bahan bakar fosil di negara-negara maju, melindungi struktur industri energi yang makin besar,” kata dia di Jakarta, Senin (6/2).

Faktor kedua yang mendorong besarnya skema REDD adalah menjelang berakhirnya fase kapitalisme yang didominasi oleh Amerika Serikat, bahwa cara-cara lama untuk menghasilkan keuntungan tidak lagi berlaku.

Maka itu, dikembangkanlah cara-cara baru untuk melindungi penggunaan bahan bakar fosil sebagai pendukung produktivitas sambil menghasilkan uang, salah satunya lewat pengembangan mekanisme pasar karbon.

Larry mencontohkan Indonesia yang sudah mengeluarkan banyak kredit karbon. Ia melihat ada dua kelompok pembeli kredit karbon tersebut, kelompok pertama adalah industri dan manufaktur agar mereka tetap bisa berproduksi seperti biasa. Kelompok kedua, adalah bank-bank dan institusi keuangan asing yang kemudian akan menggunakan kredit karbon tersebut untuk berspekulasi dan meraih keuntungan.

Padahal, di saat bersamaan, harga karbon di pasaran terus turun. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya kredit yang ditawarkan. Cina, India, Meksiko, Brasil, dan Indonesia menawarkan banyak sekali kredit-kredit karbon ini atas dorongan dari mekanisme PBB. “Ini pasar yang sedang jatuh. Apa benar Indonesia akan mendapat uang? Karena sektor kredit karbon sekarang sedang rontok,” kata Lohmann.

Selain itu, ia juga menambahkan, kredit karbon dan REDD sebagai sebuah produk finansial sangat mudah dicurangi, sangat mudah memunculkan angka. Singkatnya, “Ini produk yang gila, karena tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya dijual.”

Lohmann juga melihat berbagai konflik agraria yang terjadi di Indonesia antara masyarakat lokal dengan aktivitas tambang dan perkebunan adalah tren global, bagian dari upaya negara-negara maju memaksimalkan keuntungan.

Bahkan penggunaan militer untuk mengamankan sektor-sektor tersebut, korupsi yang lebih rumit agar uang tetap mengalir ke elite pemerintahan di negara-negara berkembang, sampai memastikan pasokan bahan mentah, adalah pola-pola yang terjadi di negara-negara yang kaya akan sumber alam.

Secara teori, hutan memang dapat menyerap karbon, tapi sampai sekarang tidak ada hitungan pasti bagaimana penyerapan emisi karbondioksida ini mampu mengurangi dampak perubahan iklim.

“Yang harus kita sadari, bahwa REDD tidak bisa mengkompensasi dampak energi fosil terhadap perubahan iklim, bahkan ketika kita mewajibkan REDD dilakukan di semua negara di dunia. Laut dan tanah juga tidak bisa menyerap karbon ini dengan cepat. Selain itu, minyak kelapa sawit tidak akan dapat menggantikan bahan bakar mineral. Satu-satunya cara menghentikan dampak perubahan iklim adalah dengan menghentikan pembakaran bahan bakar fosil.”

Tetapi, di dunia yang mendasarkan nyaris segala produktivitas dan aktivitasnya pada bahan bakar fosil, mungkinkah kita sama sekali berhenti menggunakan energi mineral tersebut?

Menurut Lohmann, ini adalah pertanyaan yang salah, karena dengan pola berpikir seperti ini, tentu tidak akan ada jawabannya.

“Kita harus mulai berpikir soal akar masalah perubahan iklim. Jika kita harus menghentikan bahan bakar fosil keluar dari tanah, kita harus mulai bertanya, kenapa kita butuh bahan bakar fosil? Konsekuensinya adalah kita harus mengganti sistem industri, transportasi global, dan sistem masyarakat seperti apa yang tidak akan bergantung pada bahan bakar fosil? Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa mengambil keputusan yang lebih demokratis dalam penggunaan minyak bumi dan gas. Sekarang kita menghindari masalah utamanya. Ketika kita bicara tentang REDD, kita tidak bicara tentang perubahan iklim atau menyelamatkan lingkungan.”

Peneliti School of Democratic Economics (SDE) Hendro Sangkoyo juga menambahkan bahwa kita tidak memiliki kuasa soal keputusan-keputusan akan energi.

“Stabilitas keuangan negara didasarkan pada energi fosil yang sepenuhnya dikendalikan oleh sektor suplai, yaitu perusahaan-perusahaan eksplorasi. Contohnya seperti yang terjadi di Sape atau Mesuji, meski berbagai konflik itu muncul, tidak ada yang bisa memveto soal ratusan hak konsesi pertambangan. Jika kita mendasarkan pertumbuhan ekonomi 7 persen dari sektor energi, apa yang akan kita bayar sebagai gantinya? Apakah kehancuran di sepanjang pesisir timur Sumatera?”