Archive for the ‘Konflik’ Category
SAMARINDA, KOMPAS – Masyarakat Dayak Punan dinilai menjadi korban dalam konflik lahan dengan perusahaan. Ini menunjukkan bahwa pemberian izin lokasi kepada perusahaan tidak sesuai prosedur sehingga masyarakat tersingkir dari hutan adat mereka sendiri.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Timur Rusman Yaqub seusai menemui perwakilan masyarakat adat Dayak Punan di Kantor DPRD Kaltim, Kota Samarinda, Selasa (13/3). ”Ini bukti izin yang dikeluarkan hanya di atas meja, tetapi tak sesuai realitas di lapangan. Seharusnya pemerintah tahu, di areal itu ada masyarakat adat yang tinggal,” kata Rusman.
Masyarakat Dayak Punan dari Desa Punan Dulau dan Desa Ujang, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, ini mengadu ke DPRD Kaltim terkait pencaplokan hutan adat mereka seluas 68.000 hektar oleh perusahaan kayu PT Intracawood Manufacturing. Sebelumnya, mereka melaporkan hal serupa ke Kantor Gubernur Kaltim.
Rusman mengungkapkan, meskipun PT Intracawood Manufacturing sudah mengantongi izin hak pengusahaan hutan (HPH) yang diterbitkan pemerintah pusat bukan berarti hak masyarakat diabaikan.
”Masyarakat Dayak Punan itu sudah lebih dulu tinggal di sana sebelum perusahaan masuk. Seharusnya mereka ditanyai, ini malah perusahaan cari jalan pintas,” tutur Rusman.
Rencananya, DPRD Kaltim akan memanggil Dinas Kehutanan Kaltim, Pemerintah Kabupaten Bulungan, dan perwakilan PT Intracawood Manufacturing untuk menyelesaikan persoalan konflik lahan di Desa Punan Dulau dan Ujang ini. ”Minggu depan kami akan agendakan pertemuannya,” ucap Rusman dan Iwan.
Intracawood mulai merambah hutan adat Punan Dulau dan Ujang sejak 1988. Dengan berbekal izin HPH dari Kementerian Kehutanan, mereka menguasai hutan adat Dayak Punan tanpa ada sosialisasi dan persetujuan dari masyarakat setempat.
Kepala Lembaga Adat Dayak Punan Kecamatan Sekatak Jonidi Apan mengungkapkan, setelah perusahaan masuk, masyarakat Dayak Punan tidak lagi dapat berburu dan terpaksa menanam singkong dan menangkap ikan di sungai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Padahal Dayak Punan merupakan suku yang biasa berburu dan meramu.
Mukhlis, Pelaksana Divisi Kehutanan Departemen Kelola Sosial PT Intracawood, mengakui, larangan berburu dan pemanfaatan hasil hutan yang dipasang perusahaan bukan ditujukan untuk masyarakat adat Dayak Punan, melainkan untuk warga dari luar Punan Dulau dan Ujang.(ILO)
Legal confusion surrounding the management of land resources has resulted in conflict between businesspeople and locals, which at times has ended bloodily, agrarian experts have said.
Arie Hutagalung, the University of Indonesia’s expert on agrarian affairs said that when deliberating the 2004 Law on Plantation, the 2009 Law on Mineral and Coal and the 1999 Forestry Law, the government and the House of Representatives had failed to make reference to the Agrarian Law of 1960.
“For instance, the Plantation Law opens the door for the local administration to give a permit for private companies to manage up to 100,000 hectares. The Agrarian Law meanwhile stipulates that it should be no more than 20,000 hectares,” she said.
Arie said that there was also a clash between the Agrarian Law and the three laws on the issue of rights for indigenous communities. “The Forestry Law does not recognize the rights of indigenous communities, something that has been clearly regulated by the Agrarian Law,” she said.
Iwan Nurdin, campaign deputy for the Consortium for Agrarian Reform (KPA) said that the three new laws were endorsed to secure the interests of the business community.
“Agrarian politics in those three laws is based on the interests of investors. Those laws close access to land for the local people,” he said.
He said that the Forestry Law was clear in its stipulation on what the central government and local administration could give as compensation to companies.
The same also went for both the Plantation Law and Mineral and Coal Law, he said.
“When the two laws allow for the forest to be given as a concession, they fail to take into account the presence of the local community that relies on the forest for their livelihood,” he said.
As a solution, Iwan said that instead of appointing big companies to manage the concessionary land, the government should start trusting local communities to manage them.
Data from the KPA said that there were 163 agrarian conflicts during 2011.
Two weeks before the Bima riot on Saturday, the public was shocked by the alleged mass killing in Mesuji, Lampung, allegedly over the encroachment of traditional land by private companies.
Of the 25 million hectares of productive forest concessions (HPH), more than 8 million hectares were under the industrial forest concession (HTI) scheme and 12 million hectares were given to palm oil companies.
Arie said that to prevent future conflicts, local administrations should show more accountability to the local community.
Private companies should also fulfill their obligations in finding new lands for local people whose land would be occupied before the companies started their operations.
In the mining sector, companies should also reclaim land, upon which they would run their operation.
She also said that it was not always a sad story for local communities.
She said that in Bengkulu, a private company only needed to make a verbal request to locals who would later give up their land for commercial projects.
“It depends on the political will of politicians and government officials. They should work together to carry out agrarian reform,” she said.
Iwan said that the government should refrain from issuing new agrarian-related regulations before conducting a thorough review on the four laws.
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=293598
Jumat, 23 Desember 2011
TEMPO.CO, Jakarta– Pengacara warga Mesuji, Bob Hasan membantah warga di wilayah itu melakukan perambahan lahan. Dia menuding, perusahaan perkebunan yang merambah hutan. “Perluasan lahan seharusnya berkoordinasi dengan masyarakat sekitar,” kata Bob Hasan di kantor Kontras, Jakarta, Jumat 16 Desember 2011.
Sebelum adanya perluasan lahan, Bob Hasan menyatakan, tidak pernah ada konflik antara warga dengan perusahaan. Namun, sejak keluarnya surat keputusan menteri kehutanan pada 2004 tentang perluasan lahan perusahaan, konflik mulai timbul. “Biang masalah ini adanya di Menteri Kehutanan,” kata Bob Hasan.
Perluasan perusahaan itu kemudian masuk ke wilayah warga tanpa pernah ada sosialisasi. Bob Hasan menyatakan, saat keluar izin perluasan, perwakilan dari Kementerian Kehutanan tidak pernah berbicara dengan warga setempat. Apalagi areal perluasan perusahaan masuk ke wilayah yang sudah dihuni oleh warga setempat. “Padahal ada pilar masyarakat yang harus diperhatikan.”
Dia juga membantah klaim tawaran Kementerian kehutanan lahan seluas 2.500 hektare kepada warga untuk menjadi Hutan Tanaman Rakyat. Peralihan ini masih menjadikan kawasan itu sebagai kawasan hutan sehingga tidak bisa menjadi hak milik. “Tidak pernah ada tawaran seperti itu,” katanya. Bob menuding, Menteri Kehutanan lebih berpihak kepada perusahaan karena dia memiliki sejumlah saham di perusahaan yang bersengketa. “Besarnya saya tidak tahu,” kata dia.
I WAYAN AGUS PURNOM
NUSANTARA – ACEH
Jum’at, 09 Desember 2011 , 09:35:00
800 Hektar Tanah Rakyat Dicaplok
http://www.jpnn.com/read/2011/12/09/110703/800-Hektar-Tanah-Rakyat-Dicaplok- Agustiar, Lhoksemauwe–Keberadaan PT Satya Agung di Aceh Utara ternyata sempat menuai konflik. Bahkan sebelum terjadinya aksi penembakan terhadap buruh perkebunan, ada insiden pencaplokan tanah gampong di tiga kecamatan sepergi Geuredong Pase, Meurah Mulia dan Simpang Kramat. Warga protes karena kurang lebih sebanyak 800 hektar lahan, dimasukkan sebagai Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan karet tersebut.
Keterangan diungkap Anwar Sanusi Spdi selaku anggota DPRK Aceh Utara, yang pada tahun 2010 lalu menjadi ketua panitia khusus (pansus), menyangkut status HGU PT Satya Agung. Saat diwawancarai Metro Aceh (Group JPNN), (8/12) ia bersama 6 anggota dewan lainnya sudah menelusuri sejumlah data, berdasarkan pengaduan masyarakat. Masih ada dibenaknya, di tahun 2010 kemarin, pihak pansus telah bertemu dengan sejumlah masyarakat dari tiga kecamatan, yakni geuredong Pase, Meurah Mulia dan Simpang Kramat. Pansus juga melakukan koordinasi dengan berbagai pihak, seperti BPN, dinas kehutanan dan perkebunan, dan manajemen PT satya Agung. Menurut mantan Ketua pansus PT.Satya Agung ini lagi, bahwa permohonan HGU PT.Satya Agung sepenuhnya mendapat izin dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) pusat. Yakni mulai tahapan permohonan, HGU, administrasi, perlengkapan permohonan. Sedangkan pengukuran HGU itu sendiri dilakukan oleh BPN Propinsi Aceh. Terkait permasalahan, menurut keterangan masyarakat kepada pansus dahulu, pengambilan lahan pada saat itu yakni pada tahun 1981. Dimana pencaplokan terkesan sangat dipaksakan. Pemilik lahan dilakukan penjemputan ke rumah dan pembayaran ganti rugi dilakukan dengan nilai bervariasi. Jumlahnya berkisar Rp.150 ribu hingga Rp.300 ribu tanpa melalui pengukuran lahan. Masyarakat hanya melakukan tanda tangan tanpa diberikan berita acara. “Bahkan laporan warga dahulu, yang kita tuangkan dalam paparan pansus, ada yang hanya dibayar Rp.450 ribu untuk lahan garapan mereka seluas 4 hektar. Ada sekitar 800 hektar tanah gampong yang hilang dan masuk dalam areal HGU,” ucap Anwar. Pada saat itu, pansus menilai bahwa persoalan peralihan hak tanah garapan masyarakat, pada saat awal mula masuknya PT.Satya Agung, dimana kekuasaan menjadi alat penguasa. Untuk menentukan arah berbagai kepentingan dan keinginan penguasa. Dimana hak-hak sipil, ekonomi, hak ulayat masyarakat serta hukum adat terpinggirkan. Akibat hukum tidak berpihak semua menjadi bagian dari hak penguasa. “Oleh banyaknya laporan warga pada saat itu, kami panitia khusus hari lalu telah meminta pengukuran ulang HGU PT.Satya Agung,”ucapnya. Dari pertemuan dengan manajemen PT.Satya Agung, pihak dewan pun kemarin mendapat masukan bahwa selama PT.Satya Agung beralih kepada manajemen yang sekarang. Seluruh aktifitas di lapangan tidak berjalan normal akibat konflik yang berkecamuk di Aceh. Pihak perusahaan hampir tidak pernah merasakan hasil kebun sama sekali dan mengalami kerugian. Bukan itu saja, alasan pihak PT.Satya Agung akibat konflik membuat lahan tidak terurus dan terlantar. Untuk itu pihak perusahaan pernah meminta keringanan pajak. Menyangkut permasalahan luas HGU, pihak PT.Satya Agung berjanji akan melakukan pengukuran kembali terhadap seluruh lahan HGU milik mereka. Intinya hasil pansus, diharapkan agar manajemen PT.Satya Agung dapat memperhatikan masyarakat lingkungan. Termasuk dapat segera melunaskan tunggukan pajak Rp.2.157.933.075. bukan itu saja, pansus berharap manajemen Pt.Satya Agung mengutamakan putra daerah disekitar kebun dan mengutamakan kontraktor lokal dalam setiap kegiatan. Berdasarkan data pansus, ada lima sertifikat HGU yang dikuasai oleh PT.satya Agung. SK/16/HGU/DA/1981 yang dikeluarkan tanggal 24-3-1981 dengan nomor sertifikat 18/tanggal 25-5-1981 dengan luas lahan 1.913,25 hektar yang berlokasi di Kecamatan Simpang Kramat. Selain itu no.SK/41/HGU/DAN/1988 dengan luas areal 1.477 hektar lokasi Kecamatan Meurah Mulia dan Pirak Timu. SK.HGU/no.9/HGU/DU/1986 dengan luas 8.128,12 hektar di Kecamatan Meurah Mulia dan Syamtalira Bayu. SK.HGU/no.5/HGU/BPN/1998 dengan luas areal 50 hektar di Kecamatan Meurah Mulia dan terakhir SK.No.03/HGU/BPN/1996 dengan luas areal 200 hektar di Kecamatan Meurah Mulia. Total luas lahan dari lima sertifikat yakni, 11.768,42 hektar. Terkait berita ini, Ponsel Manager PT Satya Agung Mandalaris Silaban yang dihubungi Metro Aceh, Kamis (/12) sore pukul 17.30 WIB, ternyata tak aktif. Dari rentan waktu tahun 1998 sampai 2007 lalu, tunggakan pajak PT Satya Agung mencapai angka Rp 2,7 miliar lebih. Hal ini terdiri dari tiga komoditi yang ada di kawasan Aceh Utara, masing-masing Rp 1,9 miliar untuk tunggakan kelapa Sawit, Rp 579 juta lebih untuk perkebunan karet dan Rp 195 juta lebih untuk komoditi kakao. Pihak PT Satya Agung melalui manajernya Mandalaris Silaban mengaku kondisi saat itu perusahaan terus merugi. Ditambah kondisi konflik berkepanjangan, menyebabkan pihaknya meminta keringanan tunggakan pajak kepada pemerintah Aceh, terutama Pemkab Aceh Utara. Keinginan tersebut disetujui dengan jumlah Rp 1,448 miliar dari total Rp 2,7 miliar dan pada 2011 ini PBB sudah dibayar sebesar Rp 142 juta lebih. “Saat konflik dan kondisi Aceh belum kondusif, perusahaan kita tetap beroperasi, namun tidak maksimal. Banyak lahan kita saat itu dimamfaatkan warga sekitar. Selama itu juga kita merugi, kita tetap bertahan di Aceh Utara. Karena pertimbangan perusahaan ini milik orang Aceh sendiri dan banyak manfaatnya untuk warga sekitar,” ujar Mandalaris. Saat ini tambahnya, PT SA fokus untuk mengembangkan perkebunan itu dan memulihkan perkebunan setelah dilanda konflik berkepanjangan, dan perlahan-lahan mulai menghasilkan walau mencapai target. Dengan kejadian penembakan pihaknya semakin dibuat sulit karena saat ini sedang dilakukan investasi di kawasan tersebut.(**) |
||
Sumber (dimuat pertama kali di): http://www.beritasatu.com/blog/nasional-internasional/1213-babak-baru-perampasan-tanah-adat.html
http://www.lab.org.uk/index.php?option=com_content&view=article&id=1149:peru-redd-does-not-benefit-indigenous-peoples&catid=65:news&Itemid=39
DURBAN, South Africa. (ENS) – A new UN-backed effort to create a financial value for the carbon stored in forests by paying communities to leave the trees standing is undermining the rights of indigenous peoples in Peru, leading to “carbon piracy” and land conflicts, finds a new report issued today by Peruvian indigenous organizations and an international human rights group.
Rainforest in the Peruvian Amazon (Photo by mothclark62)The report, “The reality of REDD+ in Peru: Between Theory and Practice – Indigenous Amazonian Peoples’ Analyses and Alternatives,” was released at the ongoing UN climate conference in Durban, where some 20,000 delegates and observers are gathered to craft solutions to the climate crisis.
The report is published by Peruvian indigenous organizations AIDESEP, FENAMAD and CARE [see below for names in Spanish] and by the international human rights organization Forest Peoples Programme, based in the UK.
The report centers on the UN program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, commonly called REDD, which offers incentives for developing countries to reduce emissions from forested lands and invest in low-carbon paths to sustainable development.
REDD+ goes beyond deforestation and forest degradation to include conservation, sustainable management of forests and enhancement of forest carbon stocks.
The UN predicts that financial flows for greenhouse gas emission reductions from REDD+ could reach US$30 billion a year, a North-South flow of funds that could reward carbon emissions reductions and support new, pro-poor development, help conserve biodiversity and secure vital ecosystem services.
But in Peru, the report shows that REDD project developers are roaming the rainforest trying to convince indigenous peoples and local communities to enter into REDD deals with promises of millions of dollars in return for signing away their rights to control their land and forest carbon.
Deals are being written using strict confidentiality clauses and with no independent oversight or legal support for vulnerable communities. Some of these peoples are not yet fully literate in Spanish, but are being asked to sign complex commercial contracts in English that are subject to English law.
Indigenous man in the Peruvian rainforest (Photo by David Bodington courtesy Voice of America) “We live here in the Peruvian Amazon where there is a new boom, a new fever just like for rubber and oil but this time for carbon and REDD,” writes AIDESEP President Alberto Pizango Chota in the report. “The companies, NGOs and brokers are breeding, desperate for that magic thing, the signature of the village chief on the piece of paper about carbon credits, something that the community doesn’t understand well but in doing so the middle-man hopes to earn huge profits on the back of our forests and our ways of life but providing few benefits for communities.”
“We denounce this ‘carbon piracy’ that is one side of the reality of REDD in the Peruvian Amazon,” said Pizango, whose organization represents more than 1,400 indigenous communities.
“The other side is the big programs of the environmental NGOs, the world bank, the IDB [Inter-American Development Bank] and the government who promise to act with transparency and respect our collective rights, but will this include the respect of our ancestral territories and self determination?” asks Pizango. “The safeguards and guidelines of the big projects always say that they will respect our rights but the reality is always different,” he said.
Some communities already have come to regret early deals made with carbon traders and NGOs, and are now attempting to extricate themselves, according to the report.
One leader from the community of Belgica in southeast Peru explained, “We were presented with a trust fund in which the community is obliged to hand over the administration of communal territory and be subject to the decisions of the developer for 30 years.”
“This will not allow us to make decisions about our territory or plan for the future of our children,” he said.
Roberto Espinoza Llanos, coordinator of AIDESEP’s Climate Change program and a lead author of the report, said, “The commitments made by the previous government [of Peru] in 2011 were not made lightly. They were assumed by the state and approved in a global meeting of the World Bank’s Forest Carbon Partnership Facility.”
Indigenous hunter, Amazon River, near Iquitos, Peru (Photo by Shanta Somasundaram) “We hope that the present government and international entities like the World Bank will deliver on their promises to respect land and territorial rights,” he said. “Continual monitoring will be necessary to make sure they keep their word.”
In violation of Peru’s international obligation to recognize and secure indigenous peoples’ traditional possession of their forest lands, says the report, many indigenous communities have no secure land rights, as an estimated 20 million hectares of indigenous peoples’ customary territories in the Peruvian Amazon still possess no legal recognition, including those of isolated or ‘autonomous’ indigenous peoples.
At the same time, hundreds of formal requests for “conservation concessions” with the intention of establishing REDD projects have been submitted to the government of Peru by private individuals and environmental NGOs.
“Many of these would be concessions directly overlie indigenous peoples’ territories still awaiting legal recognition, thereby setting the stage for a state-backed land grab,” the report states.
In addition, “Efforts to protect forests through REDD+ are undermined by contradictory policies of other government sectors overseeing mining, energy, agriculture, infrastructure and national defence,” says the report.
Conrad Feather, project officer for Forest Peoples Programme and the report’s other lead author said, “REDD is not just a policy instrument being negotiated at the UN; unregulated REDD developments are already turning Peru into a center of international carbon piracy and the site for a potential land grab of indigenous peoples’ territories on a massive scale. Urgent measures are needed to protect the lands and livelihoods of indigenous peoples.”
But today, community consultation is occurring only after REDD+ projects have started, and a lack of awareness and understanding of REDD+ among communities and government agencies as well as project developers are clouding the prospect for the program’s success.
Nahua men post a map demarcating their traditional terrority in the Peruvian Amazon (Photo courtesy Forest Peoples Programme)As an alternative, the indigenous peoples’ organizations are urging the new Peruvian government to re-think the forest and climate plans developed by their predecessors and use REDD funds to secure indigenous peoples’ forest territories and support community-based solutions to tackle climate change.
These community and rights-based approaches are cost-effective and proven to protect forests, reduce emissions from deforestation and lead to poverty reduction, increased livelihood security and biodiversity conservation, the indigenous organizations maintain.
AIDESEP President Pizango said, “Only in this way can REDD truly become an opportunity for indigenous peoples instead of a threat.”
“For indigenous peoples in both the Peruvian Andes and Amazon climatic crisis is already a reality,” the report states. “Presently drastic changes are being observed in the frequency and intensity of rain, frost, hail, and drought. In the past five years, according to figures from the Peruvian Ministry of the Environment, 22% of glacier volume (some 7 thousand million m3) have been lost. This is the equivalent of the capital city of Lima’s water consumption in ten years.”
“What is worse,” says the report, “for 2025, glaciers below 5500 meters above sea level will have disappeared, drastically reducing the supply of a vital resource.”
Climber atop Pisco surveys the snow-covered peaks of Peru’s Cordillera Blanca, vulnerable to climate change, October 2011. (Photo by nic0704)The report, “The reality of REDD+ in Peru: Between Theory and Practice – Indigenous Amazonian Peoples’ Analyses and Alternatives,” was published by:
AIDESEP (Interethnic association for the development of the Peruvian Amazon) is a national confederation of indigenous Amazonian peoples in Peru, representing over 1,400 communities. http://www.aidesep.org.pe
FENAMAD (Federation of the Native Peoples of the river Madre de Dios and its tributaries) is the umbrella indigenous federation of the Madre de Dios region, Peru. http://fenamad.org.pe/noticias/
CARE – (Ashaninka Centre of the river Ene) is a local indigenous federation representing Ashaninka communities on the Ene River in the central rainforest region of Peru. http://ashanincare.org/
Forest Peoples Programme (FPP) is an international non-governmental human rights organization working to support the rights of peoples who live in forests and depend on them for their livelihoods. http://www.forestpeoples.org
Copyright Environment News Service (ENS) 2011. All rights
Hearing Indigenous Voices on Forests
Andrew D. Kaspar | November 30, 2011
United Nations Secretary General Ban Ki-moon may have said it best when he visited Central Kalimantan on Nov. 17 to launch Indonesia’s UN Office for REDD Coordination: “Making REDD a success here and elsewhere will require the commitment and cooperation of all stakeholders. We must ensure that all have a voice.”
As nearly 200 nations convene in Durban, South Africa, for the UN’s annual climate change summit, one aspect of negotiations will be of particular interest to the Indonesian delegation — and the 50 million to 70 million indigenous people across the archipelago.
REDD — Reduced Emissions from Deforestation and Forest Degradation — is one of many attempts to encourage an international accord on greenhouse gas emissions reductions. REDD aims to incentivize forest preservation, to prevent the release of carbon dioxide stored in trees by offering payment to do so.
Because the vast majority of Indonesia’s emissions are attributed to deforestation, REDD is seen as a particularly potent means of emissions reductions.
And because REDD involves preserving forested areas that many indigenous peoples call home, the concept and its implementation are particularly high on the list of developments to watch at this year’s climate summit.
“Everybody’s talking about REDD now. Everybody’s talking about forests,” said Mina Setra, the head of international policy with the Indigenous Peoples Alliance of the Archipelago (AMAN). “And when they talk about forests, they cannot skip indigenous peoples in the discussions.”
REDD is more concept than reality at this point. While Indonesia is one of several nations to begin implementing pilot projects, critical questions remain, among them how to fund such conservation, how to measure and monetarily value forests saved and to whom REDD payments should go.
“This is a window for us to jump in, and talk about how to ensure the rights of indigenous peoples in this area,” Mina said. “This is a very important moment for us to really take as an opportunity.”
For Mina and AMAN, the negotiations boil down to a simple maxim: “No rights, no REDD.”
To be sure, the rights of indigenous peoples have come a long way. The UN Declaration on the Rights of Indigenous People was ratified by 144 nations in 2007. It includes many of the protections viewed as critical to a successful and equitable REDD regime.
“Over the last five years, the climate negotiations have been responding to that and have made specific references to indigenous peoples’ rights and the need to safeguard them,” said Patrick Anderson, Indonesia’s policy adviser with the Forest Peoples Program, which advocates on behalf of indigenous rights worldwide.
But a recent FPP report highlights major shortcomings in pioneering REDD projects in Indonesia and elsewhere. It paints a picture of a REDD wild west, where “carbon cowboys” in various guises bring projects to local communities with exploitative intent.
Indigenous peoples from around the world gathered in Oaxaca, Mexico, in October, to hash out a unified position in advance of Durban.
Among other priorities, the action plan calls for greater land tenure rights, recognition of the value that traditional knowledge can play in climate change mitigation and a mandate that REDD projects going forward will only be launched with the free, prior and informed consent (FPIC) of resident indigenous peoples.
Whatever comes out of Durban, it is clear that REDD’s success in benefiting indigenous peoples will ultimately fall to national, provincial and local governments.
Simpun Sampurna, an AMAN organizer in Central Kalimantan, said the reality on the ground was reflective of these challenges.
“Communities are confused because there are too many projects, too many initiatives happening in their territories,” he said.
“We welcome the idea of protecting our forests, but the implementation of the projects is not protecting the rights, not respecting FPIC. That’s the problem.”
http://www.downtoearth-indonesia.org/id/page/tentang-dte

DTE 89-90, November 2011
Artikel di bawah ini dibuat berdasarkan sejumlah tulisan dalam blog Pietsau Amafnini, Koordinator organisasi yang berbasis di Manokwari, JASOIL Tanah Papua. Alamat blog itu adalah http://sancapapuana.blogspot.com/.
Hutan tropis Papua sangatlah strategis dalam hal iklim global dan juga sebagai penghasil kayu serta produk hutan lainnya, yang perlu dikelola secara lestari. Untuk menerapkan REDD di Papua, sektor kehutanan berkewajiban untuk merehabilitasi hutan dan tanah yang mengalami degradasi serta mengelola hutan secara baik. Kalau kita mengelola kawasan konservasi dan hutan lindung, serta hutan produksi dengan baik, dan menghentikan pengalihfungsian hutan, kita dapat mengurangi emisi CO2 dan membantu menyeimbangkan iklim global. Tetapi, kenyataannya adalah, pemerintah Indonesia tidak peduli akan keadaan iklim.
Keadaan hutan Papua Angka di bawah ini berasal dari Potret Keadaan Hutan Indonesia, laporan Forest Watch Indonesia yang dapat diunduh melalui situs web FWI di http://fwi.or.id/?page_id=204 Total luas daratan – Indonesia: 190,31 juta hektare Total tutupan hutan – Indonesia, 2009: 88,17 juta hektare (46,33%) Total tutupan hutan – Papua, 2009: 4.138.992,70 (79,62%) Terdiri dari: Konsesi HPH : 8.556.145,35 ha Konsesi HTI: 411.804,56 ha Persentase total tutupan hutan di Papua: 38,72% (tertinggi dari semua daerah) Deforestasi 2000-2009: 628.898,44 ha (1,81% dari deforestasi di Papua dan 4,15% dari jumlah total deforestasi di Indonesia pada periode tersebut – yang terendah dari semua daerah) Total lahan gambut yang memiliki tutupan hutan di Indonesia 2009: 10,77 juta ha (dari total 20,8 juta ha lahan gambut) Lahan gambut yang memiliki tutupan hutan di Papua, 2009: 6.156.243,19 ha (79,59% dari lahan gambut di Papua), Terdiri dari: Konsesi HPH: 897.212,75 ha Konsesi HTI: 58.671,1 ha Deforestasi di hutan lahan gambut 2000-2009: 130.917,62 (2,08% dari total deforestasi di Papua dan 6,54% dari total deforestasi keseluruhan) Hutan di Papua yang dialokasikan untuk penggunaan non-hutan seperti perkebunan sawit 2003-2008: 9,16% Alih fungsi hutan di Papua untuk perkebunan sawit 2003-2008: 32.546,30 ha (2006) Pertambangan di kawasan hutan Papua: 74 ijin KP, mencakup wilayah seluas 2.100.000 ha Laporan terbaru yang dibuat oleh FPP, Pusaka dan JASOIL menyatakan bahwa seperempat hutan rawa gambut Papua (seluas sekitar 8 juta ha) dikategorikan sebagai hutan konversi. “Jika semua akan dikonversikan untuk pertanian, akan dihasilkan lebih dari satu milyar ton emisi CO2.” Lihat Papua and West Papua: REDD+ and the threat to indigenous peoples (Papua dan Papua Barat: REDD+ dan ancaman terhadap masyarakat adat) di http://www.forestpeoples.org/fpp-series-rights-forests-and-climate-redd-plus-Indonesia (dikumpulkan oleh DTE) |
REDD di Papua
Di provinsi Papua terdapat proyek percontohan yang direncanakan di kabupaten Jayapura, termasuk Cagar Alam Cycloop, kawasan hutan Mosoali dan kawasan hutan Unurum Guay. Di provinsi Papua Barat, proyek percontohan direncanakan di kabupaten Kaimana, yang mencakup Teluk Arguni, Teluk Triton dan Danau Yamor. Tetapi kawasan peruntukan lahan yang lain di daerah itu – sesuai dengan rencana tata ruang –belum ditentukan dengan jelas, dan masyarakat adat sendiri tidak tahu-menahu akan rencana pemerintah untuk menentukan kawasan adat mereka sesuai dengan apa yang diperlukan bagi REDD.
Proyek percontohan perdagangan karbon digagas tahun 2008 oleh pemerintah provinsi Papua Barat dan Carbon Strategic International (CSI, Australia). Proyek itu berada di kawasan hutan dalam delapan kabupaten, dengan total luas 8 juta ha. Bagian pemerintah sebesar 80% dan CSI 20%, yang setengahnya akan diberikan kepada perusahaan dan setengahnya lagi untuk membayar tenaga ahli. Sedangkan untuk bagian pemerintah, akan dibicarakan lagi mengenai pembagian antara pemerintah pusat, daerah dan masyarakat. Diperkirakan penyerapan karbon dari hutan tropis sebanyak 300 – 350 ton per hektare dengan harga 10 – 16 USD setiap ton. Harga dan pendapatan dihitung per tahun berdasarkan perkembangan moneter dan inflasi yang terjadi.
Sekarang ada kesepakatan baru antara pemerintah provinsi Papua Barat dan Asia Pacific Carbon (dari Australia).
Lokasi REDD di Papua Barat berada dalam hutan lindung. Lokasi itu dipilih karena tingginya ancaman yang dihadapi akibat ekspansi urban, ditambah dengan pertambangan seperti batubara, tembaga dan emas, serta kepentingan lain.
Konversi hutan di Papua Barat untuk pertumbuhan ekonomi semakin menjadi-jadi: ada rencana untuk mengembangkan perkebunan sawit, sagu, pertambangan, transmigrasi, dll. Hal ini jelas tampak dari meningkatnya jumlah perusahaan yang ingin melakukan AMDAL untuk proyek semacam itu.
Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) tengah membuat peta Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Papua Barat dan kabupaten Manokwari. Peta ini diharapkan akan menjadi alat bagi perdagangan karbon untuk mendapatkan lokasi potensial dan membantu penghitungan karbon yang dihasilkan.
Kebijakan di Papua
REDD di Indonesia digambarkan sebagai pendekatan nasional yang akan diterapkan di tingkat sub-nasional. Hal ini berarti bahwa kerangka kebijakan dan insentif datang dari pemerintah pusat dan detail untuk pelaksanaannya diserahkan kepada provinsi dan/atau pemerintah daerah dan pemangku kepentingan terkait.
Peraturan daerah Papua, yang menyediakan kerangka hukum bagi pelaksanaan REDD di Papua, mengakui hak dan hutan adat dan menekankan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Dengan menggunakan peraturan provinsi dan pedoman dari keputusan yang dibuat oleh Kementerian Kehutanan mengenai REDD, pemerintah Papua –dengan dukungan masyarakat sipil, universitas, masyarakat adat, dan aktor utama lainnya—berencana untuk membentuk Gugus Tugas Karbon Hutan Papua (REDD). Gugus tugas ini dibentuk berdasarkan peraturan gubernur pada awal 2011. Tujuannya adalah untuk membantu pemerintah Papua untuk menerjemahkan, mengembangkan dan mengkoordinasikan pendekatan kebijakan dan insentif posifif yang datang dari tingkat nasional dan internasional untuk tingkat provinsi dan kabupaten yang terlibat. Dalam praktiknya, keterlibatan masyarakat setempat sangatlah terbatas dan proyek itu tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat.
FPIC (pemberian persetujuan berdasarkan informasi awal tanpa tekanan) Berikut adalah inti dari laporan terbaru dari FPP/Pusaka/JASOIL berjudul Papua and West Papua: REDD+ and the threat to indigenous peoples “Satu perkembangan penting adalah keluarnya peraturan Gubernur Barnabas Suebu bulan Oktober 2010 mengenai Pembentukan Gugus Kerja Pembangunan Rendah Karbon. Salah satu peran Gugus Tugas itu adalan untuk memastikan kepastian hukum untuk mengamankan hak-hak masyarakat sesuai dengan prinsip pemberian persetujuan berdasarkan informasi awal tanpa tekanan (FPIC). Kebijakan serupa juga dikeluarkan oleh Gubernur Papua Barat, Abram Artuturi, bulan Maret 2011. Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) Papua No. 23/2008 mengenai Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan PERDASUS No.21/2008 mengenai Pengelolaan Hutan Lestari, yang keduanya mengakui hak-hak masyarakat Papua, dapat memperkuat posisi masyarakat yang terimbas oleh rencana REDD+. Tetapi hingga kini baik institusi pemerintah kabupaten atau pemerintah terkait belum mengeluarkan kebijakan atau program untuk menerapkan peraturan hak ulayat dan hukum adat. ”[1] |
Sedikit sekali pengetahuan dan kapasitas teknis pejabat kantor pemerintahan setempat dan instansi pemerintah terkait, organisasi masyarakat—apalagi masyarakat yang tinggal di Papua Barat—mengenai perubahan iklim dan perdagangan karbon. Mereka juga tak banyak tahu tentang kebijakan nasional, komitmen internasional atas perubahan iklim, praktik terbaik pengelolaan hutan, mekanisme perdagangan karbon, moratorium pembalakan, skema untuk mengurangi perusakan hutan dan menurunkan emisi, serta manfaat dan dampaknya.
Sudah dilakukan beberapa pertemuan untuk membahas perdagangan karbon, tetapi tak ada kelanjutannya, dan tak tampak tanda-tanda adanya kebijakan atau program dari pemerintah provinsi dan kabupaten untuk menerapkannya. Pertemuan-pertemuan itu sangat terbatas dan tidak melibatkan masyarakat sipil, organisasi masyarakat setempat seperti DAP [Dewan Adat Papua], LMA [Lembaga Masyarakat Adat] atau MRP [Majelis Rakyat Papua], LSM atau perwakilan masyarakat di Papua Barat. Dikhawatirkan bahwa tak adanya keterlibatan mereka akan memberikan dampak negatif pada perencanaan dan pelaksanaan program.
Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan [TGHK] dan deliniasi batas hutan masih belum ada dan tak ada pembicaraan yang jelas mengenai hal itu, karena adanya konflik antara kepentingan dan konsep tanah negara dan tanah adat. Rencana tata ruang untuk provinsi Papua Barat dan kabupaten Manokwari tidak ada dan belum dibicarakan.
Masyarakat yang memiliki hak atas tanah target REDD+ (tanah, hutan dan gambut) tidak memahami dan tidak banyak dilibatkan dalam pencapaian konsensus di tingkat nasional dan lokal, untuk menentukan persiapan bagi pelaksanaan REDD+. Inilah yang terjadi dengan proyek perdagangan karbon yang diprakarsai oleh pemerintah provinsi Papua Barat dan CSI.
Apa yang diperlukan untuk REDD?
Max. J. Tokede dari UNIPA Manokwari menjelaskan bahwa apa yang perlu dikerjakan untuk mempersiapkan REDD adalah sbb: pertama, meningkatkan kapasitas pemantauan untuk mendeteksi perubahan cadangan karbon di provinsi Papua dan Papua Barat. Ini mencakup: penginderaan jauh (pencitraan satelit); pemantauan udara; pemantauan hutan berbasis masyarakat di tingkat lapangan; dukungan kegiatan pemantauan hutan dan perdagangan kayu oleh Dinas Kehutanan dan masyarakat. Kedua, kegiatan uji coba untuk insentif yang adil bagi perlindungan hutan, yang meliputi perencanaan tata ruang dan alih fungsi hutan, pemetaan hutan masyarakat adat dalam lokasi uji coba; membangun kelembagaan kampung untuk mengelola sistem pembayaran insentif untuk mencegah deforestasi dan membangun alternatif pendapatan ekonomi; membangun kapasitas bagi hutan kemasyarakatan (community logging) yang berkelanjutan dan bersertifikat; membangun sistem pengawasan dan perlindungan hutan partisipatif.
Sedangkan terkait mekanisme pendanaan REDD di Papua antara lain, meliputi: dukungan pendanaan untuk pembangunan masyarakat dengan membuka rekening kampung; dukungan pendanaan untuk kelompok atau individu-individu untuk melakukan patroli dan perlindungan hutan berbasis masyarakat dengan rekening kelompok/individu; dan dana simpan pinjam untuk pengembangan usaha kecil, menengah di kampung. Kesanggupan pemerintah daerah juga harus dipastikan untuk memfasilitasi: dana untuk pengelolaan proyek; dana untuk pemantauan karbon dan penegakan hukum; dana untuk pembangunan bagi masyarakat umum (pendidikan/kesehatan/pembangunan ekonomi). Dana Pendampingan Teknis juga diperlukan bagi kelancaran program REDD tersebut.
Hak-hak Adat
Yang menjadi pertanyaan adalah, akankah keuntungan itu menyentuh masyarakat adat yang mempunyai hak sepenuhnya atas hutan di sekitarnya? Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa masyarakat adat yang berbadan hukum akan tetap bisa mengakses sumber daya alam di hutan tanpa menebang pohon dan mendapatkan keuntungan dari proyek REDD tersebut. Di sini jelas masih ada pertanyaan, masyarakat adat yang berbadan hukum? Bagaimana dengan yang tidak berbadan hukum? Kalaupun masyarakat adat bisa mendapatkan status badan hukum tersebut, bagaimana prosedurnya? Akankah semudah membalikkan telapak tangan? Dalam konteks ini, maka negara yang seharusnya mengakui terlebih dahulu keberadaan masyarakat adat. Negara industri maju seperti Brasil, Uni Eropa, Jepang, Amerika Serikat dan Norwegia, siap membiayai pengelolaannya. Diantaranya dengan memberi dana hibah US$10 per ton karbon, kecuali untuk kebun kelapa sawit. Namun, apakah masyarakat adat Papua akan dapat kucuran dana hibah itu? Belum tentu.
Melindungi hutan untuk tetap lestari atau mengelola secara berkelanjutan sebenarnya sudah sejak dulu dikenal oleh masyarakat adat. Ada hutan keramat atau tempat pemali yang terletak di hutan yang masih kental dalam kehidupan masyarakat adat. Sekarang dunia modern mengenal hutan keramat sebagai kawasan hutan konservasi. Pemanfaatan hutan juga sangat menjamin kelestarian dan keberlanjutannya. Mereka hanya menggunakan teknologi sederhana, mengambil hasil hutan seperlunya untuk kebutuhan hidup mereka.
Direktur LSM PERDU Manokwari, Mujianto menerangkan bahwa berdasarkan pengalaman studi PERDU di Kabupaten Kaimana yang merupakan daerah yang dilirik dan dicalonkan oleh pemerintah provinsi Papua Barat sebagai kawasan proyek REDD dan Perdagangan Karbon, fakta menunjukkan pengelolaan dan pemanfaatan hutan saat ini masih ditemukan: ijin pemerintah masih dominan diberikan kepada pemilik modal-perusahaan; Pasca OHL II (OHL II adalah operasi polisi kedu untuk memberantas illegal logging), ijin bagi masyarakat lokal praktis tidak ada, Kopermas pun otomatis tidak berjalan; kalaupun masyarakat lokal memanfaatkan hasil hutan (khususnya kayu), lebih untuk sekedar memanfaatkan momentum pasar lokal yang tersedia dengan volume yang sangat terbatas dan tanpa perencanaan memadai; potensi kehilangan hutan alam akan semakin tinggi seiring dengan pergerakan modal ke daerah ini untuk diinvestasikan dalam berbagai sektor pemanfaatan sumberdaya alam (perkebunan, tambang, dll).
“Sementara itu bila kita melihat lebih jauh ke belakang, … secara turun-temurun masyarakat lokal penghidupannya bergantung dari kekayaan alam, termasuk kekayaan hutan; pengelolaan hutan dan pemanfaatanya dilakukan dengan cara yang sederhana berdasarkan pengetahuan setempat; kebutuhan air bersih, protein hewani, bahan pangan lokal dan obat-obatan, bahan bangunan diambil dari kawasan hutan mereka. Artinya, pemanfaatan hasil hutan masih sebatas untuk kebutuhan rumah tangga dan tidak membutuhkan teknologi yang merusak hutan secara cepat. Jika demikian, maka kiranya masyarakat adat di sekitar hutan itu jauh lebih arif dalam menjaga kelestarian hutan alam untuk proyek REDD. Namun ketika hutan alam mau dijadikan bisnis oksigen atau perdagangan karbon, maka masyarakat adat setempat harus secara langsung dilibatkan secara penuh dan juga mendapatkan manfaatnya secara langsung, termasuk dalam hal kompensasi berupa uang tunai,” demikian kata Muji.
Peran JASOIL
Proyek REDD+ dan inisiatif lain terus digulirkan dan belum ada tanda-tanda untuk mengoreksi tatanan kebijakan yang belum beres dan rendahnya komitmen politik pengambil kebijakan dan penggagas proyek untuk melindungi hak-hak masyarakat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terjadinya penyimpangan dan memunculkan konflik kepentingan dan konflik sosial yang meluas, sehingga pada gilirannya lingkungan tidak terselamatkan, emisi GRK terus meningkat dan kesejahteraan masyarakat semakin menurun.
Apa gagasan dan aksi yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini? Perlu ada aksi di tingkat masyarakat akar rumput, terutama yang akan bersentuhan dan terkena dampak langsung dari proyek REDD+. JASOIL Tanah Papua memandang ada dua hal yang dapat dilakukan, yakni:
1) meningkatkan kesiapan, kesatuan dan penguatan hak-hak masyarakat sehingga posisi tawar mereka meningkat dan masyarakat bersatu dalam mempengaruhi dan menentukan kebijakan proyek pembangunan apapun yang akan berlangsung di atas tanah mereka dan mempengaruhi kehidupan masyarakat;
2) meningkatkan kapasitas masyarakat agar dapat terlibat dalam pemantauan seluruh tahapan proyek percontohan provinsi REDD+ dan inisiatif proyek REDD+ lainnya di tingkat kabupaten, dan turut terlibat dalam tindakan memperbaiki.
Bisnis REDD+ Penelitian terbaru yang dilakukan oleh FPP, Pusaka dan JASOIL menemukan bahwa tak satu pun skema REDD+ yang telah diajukan untuk Papua sudah berjalan melampaui tingkat perencanaan awal.[2] Hanya satu proyek REDD di Papua yand teridentifikasi dalam situs web REDD-Indonesia (tertaut dengan Kementerian Kehutanan). Proyek yang disebut Pendanaan Berkelanjutan untuk Manfaat Karbon berada di provinsi Papua, dan New Forest Asset Management/PT Emerald Planet disebut sebagai organisasi yang terlibat.[3] Menurut FPP/Pusaka/JASOIL, perusahaan itu telah menandatangani Nota Kesepahaman dengan gubernur Papua tahun 2008 untuk mengembangkan rencana pengurangan emisi dari deforestasi di hutan seluas 265.000 hektare di Mamberamo dan Mimika, tetapi pengembangnya tak dapat memperoleh semua ijin yang diperlukan. Situs web Emerald Planet sendiri menyatakan bahwa perusahaan itu “aktif dalam proyek Aforestasi, Reforestasi dan Revegetasi (ARR), Pengelolaan Lahan Pertanian (Agricultural Land Management, ALM) dan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) dan investasi bersama dengan investor Indonesia dan asing, termasuk Eco-Carbone (Perancis), satu bank internasional besar, dan investor swasta.” Perusahaan yang berkantor perwakilan di Bali ini juga menyatakan bahwa perusahaan itu “memberikan layanan nasihat bagi pemerintah provinsi Papua sebagai satu-satunya anggota dari sektor swasta dalam Panel Penasihat Satuan Tugas Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon Papua.”[4] Dalam kemitraan bersama Eco-Carbone, yang disebut Eco-Emerald, perusahaan itu juga mengklaim tengah mengembangkan “perkebunan tanaman jarak berbasis masyarakat di lahan yang telah mengalami degradasi di Indonesia” (tidak disebutkan apakah ini di Papua atau tempat lain di Indonesia).[5] Carbon Strategic International adalah kelompok investasi dan perdagangan lingkungan global (karbon, keanekaragaman hayati). Dalam situs webnya disebutkan bahwa perusahaan ini bekerja bersama perusahaan, pemerintah dan masyarakat “untuk membantu mereka memahami dan mendorong pasar lingkungan hidup, energi dan finansial yang tumbuh pesat untuk menciptakan hasil ekonomi, sosial dan ekologi yang berkelanjutan.” Ke empat kegiatan utama perusahaan itu adalah Originasi, Penasihat Keuangan, Perdagangan dan Managemen Aset. Kelompok perusahaan ini memiliki kantor di Jakarta, tetapi tak ada informasi spesifik tentang Papua (atau bahkan Indonesia) dalam situs webnya.[6] Asia Pacific Carbon telah terlibat dalam pengembangan proyek karbon sejak 2005, mulai dengan hutan hujan di Papua Nugini. Fokusnya saat ini adalah Indonesia dan PNG. Perusahaan ini mengklaim sebagai “salah satu perusahaan pengembang karbon terkemuka berkualitas tinggi di kawasan Asia dan Pasifik.” Kantornya ada di Australia, Singapura, Indonesia dan PNG. Dalam situs webnya, perusahaan itu lebih lanjut menyatakan bahwa perusahaan bekerja dengan pengembang proyek, mitra teknologi, lembaga keuangan dan kelompok perdagangan yang sangat berpengalaman” dan “didukung oleh hubungan kerja yang erat dengan pemilik proyek, pemerintah, anggaran dasar, institusi tersier, dan LSM di setiap pasar sasaran.[7] Usaha awal untuk mendapatkan akses atas proyek karbon di Papua diluncurkan oleh Carbon Conservation, perusahaan berbasis di Australia yang dijalankan oleh pengusaha Dorjee Sun.[8] Carbon Conservation terlibat dalam proyek REDD Ulu Masen di Aceh. (boks dirangkum oleh DTE) |
1. Forest Peoples Programme, Pusaka, JASOIL, Rights, forests and climate briefing series – Oktober 2011. Papua and West Papua: REDD+ and the threat to indigenous peoples di http://www.forestpeoples.org/fpp-series-rights-forests-and-climate-redd-plus-Indonesia
8. Lihat DTE 76-77, Mei 2008, untuk latar belakang lebih lanjut, di www.downtoearth-indonesia.org/old-site/76dib.htm. Lihat juga http://www.carbonconservation.com/.
“Informasi yang kami terima, Sekjen PBB ingin berkunjung ke Kalteng, namun kami belum mengetahui secara pasti kunjungan itu kapan dilakukan,” kata Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Kalteng, Teras Sahay, di Palangkaraya, Sabtu (12/11/2011).
Menurut dia, perwakilan PBB di Indonesia hingga saat ini belum memberikan kabar kepastian kunjungan itu, namun Kalteng siap menyambut kedatangan Sekjen PBB tersebut.
“Kami masih menunggu informasi lebih lanjut dari perwakilan PBB di Indonesia, sehingga dapat dipastikan kapan kunjungan itu dilangsungkan,” ujarnya.
Berdasarkan informasi yang diterima untuk sementara ini, kunjungan Sekjen PBB ke Kalteng itu berkaitan ditunjuknya Kalteng sebagai “pilot project” REDD+ di Indonesia.
Sementara itu, Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Tengah juga menyiapkan pengamanan rute-rute yang akan dilalui Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Ban Ki-Moon.
Namun, jalur-jalur yang akan dilalui Ban Ki-Moon di Palangkaraya, Kalimantan Tengah itu belum dipastikan.
“Nanti pasti ada penentuan rute-rutenya,” ujar Direktur Lalu Lintas (Dirlantas) Polda Kalteng Ajun Komisaris Besar Tomex Korniawan.
Sejauh ini, pihaknya telah berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, terutama TNI dan Polda Kalteng.
Sebelumnya (18/9), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng menilai program REDD plus di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) akan rawan konflik.
“Masalahnya, program tersebut masih banyak yang tidak terpantau dan terdaftar karena minimnya transparansi dari para developer proyek yang bersifat voluntary market seperti konsensi restorasi ekosistem,” kata Direktur WAHLI Kalimantan Tengah, Ari Rompas.
Menurut dia, proyek tersebut berpotensi konflik karena memiliki syarat dengan bentuk penguasaan wilayah atas kawasan seperti di Kalteng juga telah banyak terjadi konflik sosial yang diakibatkan oleh industri ekstraktif seperti perkebunan sawit, tambang, dan HPH/HTI.
“Telah banyak menimbulkan persoalan konflik sosial akibat perkebunan dan pertambangan, bahkan telah mendorong pelanggaran HAM,” ujarnya.