Archive for the ‘Jakarta Tenggelam’ Category

Antara

Jumat, 23 Desember 2011 22:13 WIB | 1554 Views

Jakarta (ANTARA News) – Banjir bandang di ibu kota Jakarta seperti tahun 2007 mungkin terjadi kembali awal tahun depan yang bisa dideteksi dari kedatangan “cold surge” atau angin Siberia dari utara bumi yang mengalir ke selatan.

“Cirinya, seminggu sebelum kejadian, ada badai salju di Hongkong di mana tekanan permukaan naik sebesar 10 milibar dalam 24 jam dan membuat udara di kawasan kita kering,” kata Kepala Pusat Perubahan Iklim Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dr Edvin Aldrian usai diskusi Pengelolaan Sumber Daya Air bertema “Kelola Air Selamatkan Bumi” di Jakarta, Jumat.

Cold surge merupakan massa udara dingin yang terbawa oleh sirkulasi angin utara-selatan (meredional) akibat gangguan tekanan tinggi di kawasan Siberia mengalir ke kawasan ekuator dan ke selatan melalui pesisir utara Jawa.

Faktor Cold Surge cukup berat menekan Jakarta dari laut dan dari atmosfer di kala terjadi hujan lokal yang terus-menerus selama beberapa hari ditambah banjir kiriman dari dataran tinggi di selatan Jakarta pada 2007.

“Apa lagi saat ini MJO (maden-julian oscillation) menuju fase basah yang akan menambah uap air. Cold Surge bisa membawa malapetaka jika secara bersamaan datang dengan MJO fase basah,” urainya.

Ia menambahkan, pada akhir Januari matahari juga sedang berada tepat di atas Jawa, di mana terjadi radiasi matahari maksimal yang juga bisa berpengaruh pada faktor-faktor terkait kemungkinan banjir.

Edvin juga mengingatkan, perubahan iklim memang sedang terjadi yang tampak dari data dan tren iklim yang semakin ekstrem. Kawasan kering semakin kering dan kawasan basah menjadi semakin basah.

“Hujan makin lama hanya jatuh di musim hujan sedangkan di musim kemarau semakin jarang hujan. Hujan juga terjadi dalam intensitas yang besar namun dalam waktu singkat. Ini tentu menyebabkan kemungkinan banjir makin besar,” katanya.

Demikian pula sinyal El Nino yang mengindikasikan pemanasan global, yang jika El Nino tidak kuat maka Indonesia akan mengalami kemarau basah, namun jika El Mino kuat, Indonesia akan mengalami kekeringan.

“Tahun 2010 adalah tahun tanpa kemarau bagi Indonesia. Sepanjang tahun tak ada minggu-minggu tanpa hujan, namun di saat yang sama terjadi penurunan curah hujan yang rata di semua daerah. Ini menyebabkan hewan-hewan yang merugikan berkembang biak karena tak ada pergantian musim,” katanya.
(T.D009/I007)

Editor: Ruslan Burhani

COPYRIGHT © 2011

This content is password protected. To view it please enter your password below:

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=293354

 

KILAS BALIK 2011
LINGKUNGAN HIDUP

Jangan Sepelekan Ancaman
Penurunan Permukaan Tanah Jakarta

Selasa, 20 Desember 2011

Jebolnya tanggul Kalimalang pada hari kedua Idul Fitri 1432 Hijriah, Rabu, 31 Agustus 2011, membuat Kota Jakarta “bergoyang”. Sebagian wilayah Ibu Kota tak teraliri air bersih perpipaan (air PAM). Akibatnya, masyarakat menjerit karena berhari-hari mandi dengan air sekadarnya. Untuk mencuci pakaian, memasak, dan lain-lain harus membeli air bersih yang dijual melalui tangki. Menyedihkan sekali.Anehnya, hotel-hotel berbintang, kantor-kantor pemerintah, dan swasta di jantung kota, seperti di bilangan Jalan Sudirman dan MH Thamrin, tidak ada yang komplain kepada operator PAM Jaya. Ini pertanda apa? Ternyata, mereka masih menggunakan air perpipaan sebagai cadangan. Untuk kebutuhan air bersih sehari-hari, pengelola gedung menyedot air dari dalam tanah. Bahkan, penyedotan air tanah dilakukan tanpa terkendali.Praktik penyedotan air tanah dalam itu ternyata berdampak terhadap kerusakan lingkungan hidup, yakni turunnya permukaan tanah. Dari tahun ke tahun, penurunan permukaan di Jakarta terus terjadi, bahkan di Jakarta Utara sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan.Tak dapat dibantah, penyedotan air bawah tanah sebagai satu-satunya penyebab utama penurunan muka tanah. Kian tahun makin meningkat meski jumlah air yang terekstraksi menurun. Pemerintah juga belum dapat mengendalikannya karena suplai air perpipaan baru memenuhi 60 persen kebutuhan.Penyedotan air tanah secara besar-besaran itu menyebabkan permukaan air di dalam tanah terus menurun dan menyebabkan seluruh lapisan tanah di atasnya ikut turun. Hal itu dikatakan ahli geodesi dari Institut Teknologi Bandung, Hasanuddin Z Abidin.Kepala Bidang Pencegahan Dampak Lingkungan dan Pengelolaan Sumber Daya Perkotaan Badan Pengelola Lingkungan Hidup daerah (BPLHD) DKI Dian Wiwekowati dalam sebuah kesempatan mengatakan, Jakarta menjadi salah satu kota dengan penurunan muka tanah paling tinggi dari 530 kota di dunia.Menurut keterangan Kepala Bidang Penegakan Hukum Lingkungan BPLHD DKI Ridwan Panjaitan, deposit air tanah di Jakarta sebesar 77 juta meter kubik per tahun dan yang boleh diambil hanya 60 persen atau 48 juta meter kubik per tahun. Jika terjadi penurunan muka tanah, ini berarti telah terjadi ekstraksi secara berlebihan. Saat ini, laporan resmi penggunaan air tanah hanya 20 juta meter kubik.Terus Berlangsung
Nila Ardhianie dari Amrta Institute for Water Literacy memprediksi masalah ekstraksi air tanah akan terus berlangsung. Pasalnya, payung hukum yang menjadi pijakan belum memadai. Perda dan peraturan gubernur yang ada baru mengatur perpajakan. Konservasi dan pengawasannya belum ada.Empat perda yang ada telah mencukupi, yakni Perda No 10 Tahun 1998 tentang Pemanfaatan Air Tanah, Perda No 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, Perda No 17 Tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah, dan Perda No 1 Tahun 2004 tentang Air Tanah.Namun, Pemprov DKI sudah mengantisipasi dengan hanya memberikan izin pembangunan gedung jika mereka membuat pengolah air limbah sendiri.Penyedotan air tanah dalam yang tidak terkendali dapat berakibat fatal, membuat ketersediaannya mengalami pengurangan yang cukup drastis. Yang lebih parah lagi menyebabkan penurunan permukaan tanah di Jakarta. Kondisi itu sudah sangat mengkhawatirkan.Sejak tahun 1974 hingga 2010 diperkirakan penurunan itu mencapai 4,1 meter. Dan, diprediksi, pada tahun 2030 tanah Ibu Kota akan mengalami penurunan hingga 6,6 meter.Berdasarkan penelitian LSM Peduli Lingkungan, tercatat penurunan permukaan tanah paling parah dialami di Muara Baru, Cilincing, Jakarta Utara dengan kedalaman penurunan 4,1 meter. Hal yang sama juga terjadi di Ancol, mencapai 1,88 meter. Tak hanya Jakut, wilayah lain pun mengalami hal yang sama. Beberapa di antaranya Cengkareng Barat, Jakbar dengan penurunan hingga 2,5 meter, Daan Mogot 1,97 meter, Cempaka Mas, Jakpus 1,5 meter, Cikini, Jakarta Pusat 0,80 meter, dan Cibubur, Jaktim 0,25 meter.Gubernur DKI Fauzi Bowo mengakui bahwa penurunan permukaan tanah dan kenaikan permukaan laut berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Gejala alam yang terjadi saat ini adalah adanya kombinasi antara peningkatan permukaan air laut dan penurunan permukaan tanah.Jika hal itu terus berlangsung tanpa adanya kontrol, ketersediaan air bisa menjadi barang langka untuk kelangsungan hidup yang akan datang. Karena itu, semua pihak harus peduli, sehingga kita mampu mewariskan kepada anak cucu lingkungan yang baik, menjamin harmoni kehidupan.Menurut Fauzi Bowo, seiring dengan meningkatnya penduduk Jakarta, maka permintaan air bersih untuk kehidupan sehari-hari juga mengalami peningkatan. Tuntutan ini, katanya, menyebabkan terjadinya penyedotan air bawah tanah untuk kebutuhan sehari-hari rumah tangga dan keperluan industri sehingga mengakibatkan penurunan tanah.Adapun kenaikan permukaan laut setengah meter menyebabkan beberapa bagian di wilayah Jakarta bisa terendam secara permanen. Fauzi Bowo mengungkapkan, inilah alasan mengapa Pemprov DKI membangun sistem polder di seluruh Jakarta yang rawan banjir, di mana air dipompa keluar saluran yang lebih besar dan akhirnya bermuara ke laut.Perubahan iklim juga menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan. Perubahan iklim itu merupakan sesuatu yang global dan tidak mengenal batas negara atau administrasi. Perubahan iklim di Jakarta bisa berarti peningkatan permukaan laut. Pembengkakan air laut dan mencairnya gletser dan lapisan es kutub menyebabkan air laut meningkat.Kenaikan permukaan air laut dapat mempercepat erosi pantai, menyebabkan intrusi air laut ke air tanah, merusak lahan rawa pesisir dan menenggelamkan pulau-pulau kecil. Bahkan, kenaikan permukaan laut 5 cm-8 cm akan memiliki dampak yang parah pada Kota Jakarta yang sudah rentan terhadap banjir dan limpasan air setelah badai.
Buktinya Jembatan
Tapi, ada bahaya lebih besar yang sedang mengancam kehidupan orang Jakarta. Permukaan sebagian wilayah Ibu Kota sedang turun dengan kecepatan hingga 18 cm/tahun di beberapa kawasan tertentu. Kecepatan itu makin tinggi dan wilayah yang mengalami penurunan makin luas.Ini hasil studi konsultan Deltares yang dipaparkan di kantor Rujak Center for Urban Studies pada 16 September 2011. Buktinya bisa dilihat di Jakarta Utara. Banyak jembatan yang kini menyentuh air, bukan karena permukaan air yang naik, melainkan jembatan yang turun. Juga ada pintu air yang tidak lagi bisa dibuka karena telah turun sedemikian rupa sehingga permukaan laut lebih tinggi daripada permukaan air saluran di sisi lainnya.Sebagian Kampung Luar Batang di sebelah barat Pelabuhan Sunda Kelapa telah dipagari tembok setinggi 3 meter karena permukaan air laut telah berada 1 hingga 1,5 meter di atas permukaan tanah. Kedengarannya seperti fiksi ilmiah, tapi nyata. Semoga tidak menakutkan.
Memang air permukaan air laut naik juga karena pemanasan bumi. Tetapi, lajunya tidak seberapa dibandingkan dengan penurunan tanah tersebut. Karena tanah Jakarta bersifat lempung, maka ketika airnya disedot, ia akan mengerut. Bahkan, apabila penyedotan berhasil disetop sekarang, perlu ratusan tahun untuk mengembalikan air tanah. Untuk menghentikan penyedotan air tanah, dibutuhkan waktu 2-3 tahun apabila ada penegakan hukum yang ketat dan berlaku tanpa pandang bulu. Namun, kapasitas air pipa harus ditambah hingga 60 persen guna memenuhi kebutuhan seluruh warga Jakarta. (Yon Parjiyono

Minggu, 06/11/2011 18:16 WIB

M. Rizal – detikNews

http://us.detiknews.com/read/2011/11/06/181625/1761422/158/firdaus-ali-penurunan-muka-tanah-tak-terkendali-jakarta-bisa-tenggelam

Jakarta – Permukaan tanah di DKI Jakarta kian turun setiap tahunnya, diakibatkan tingginya laju ekstraksi air tanah dalam yang sudah melewati batas. Kalau ini tidak diatasi secara serius, maka dalam tempo 40 tahun ke depan, Jakarta diprediksi akan benar-benar tenggelam.

“Jika tidak segera ditangani, kota ini akan tenggelam secara perlahan dan pasti. Ketika laju penurunan muka tanah kita terus tidak terkendali, dalam saat bersamaan permukaan air laut juga naik secara signifikan sebagai dampak dari pemanasan global,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Water Institute, Firdaus Ali.

Sebenarnya menurut Firdaus, kondisi penurunan tanah akibat penggunaan air tanah yang kelewat batas ini tidak hanya terjadi di Jakarta. Tapi di sejumlah kota di beberapa negara juga terjadi.

“Saya punya referensi yang kuat dengan apa yang terjadi di Mexico City hampir 80 tahun lalu dan di Bangkok City 30 tahun lalu. Kota-kota besar di Jepang seperti Tokyo, Yokohama, dan Osaka punya pengalaman yang sama,” ungkapnya.

Berikut wawancara lengkap detikcom dengan Firdaus Ali, yang juga pengamat dari Universitas Indonesia, Minggu (6/11/2011):

Betulkah permukaan tanah di Jakarta setiap tahun turun? Dan bagaimana prediksi Dari IWI?

Saya yakin tidak ada yang sanggup membantah fakta yang dan sedang bahkan mungkin sepertinya masih akan berlansung dalam beberapa dekade (jika tidak juga ada upaya segera untuk menghentikan laju turunnya muka air tanah dan muka tanah di wilayah ibukota NKRI ini. Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) dengan segenap anggotanya yang dalam hal ini merupakan pakar dalam masalah geologi wilayah DKI Jakarta justru selalu berdiskusi dengan saya dalam rangka mencari upaya terobosan dari aspek teknik dan non-teknik untuk mencegah tenggelamnya ibukota ini.

Kita sempat sedikit berbeda pandang dalam menilai faktor penyebab turunnya muka tanah di Jakarta. Prof Lambok Hutasoit dan kawan-kawan Geoogi ITB mengatakan bahwa setidaknya ada 4 penyebab tingginya laju penurunan muka tanah di Jakarta dan sekitarnya Pertama adalah karena sifat atau karakteristik geologi tanah di wilayah ibukota yang merupakan lapisan akumulasi endapan (quarter) sedimen yang belum stabil (terus mengalami proses konsolidasi) pada kawasan pantai yang berlansung ribuan tahun lalu yang akhirnya membentuk wilayah delta (makanya Jakarta juga digolongkan sebagai kota delta/delta city).

Karena adanya beban statis (bangunan) dan dinamis (beban bergerak seperti kendaraan bermotor) yang mempercepat terjadinya proses pemadatan lapisan tanah. Ketiga adalah karena adanya gaya teknonis yang menyebabkan getaran dan pergerakan lapisan kulit bumi/tanah yang juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan muka tanah. Keempat adalah akibat sangat tingginya laju ekstraksi air tanah (khususnya air tanah dalam) yang sudah melewati daya dukungnya (melebihi kemampuan pengisian kembali).

Alasan yang ke 4 yang saya pegang dan yakini sepenuhnya sebagai faktor penyebab tingginya laju penurunan muka tanah di ibukota. Saya punya referensi yang kuat dengan apa yang terjadi di Mexico City hampir 80 tahun lalu dan di Bangkok City 30 tahun lalu. Kota-kota besar di Jepang seperti Tokyo, Yokohama, dan Osaka punya pengalaman yang sama.

Titik daerah mana saja di Jakarta yang paling rawan bahaya amblas tanah di Jakarta? Daerah mana yang paling rawan dari semua itu? Berapa persen, inci, centimeter penurunnya tiap tahun?

Berdasarkan faktor penyebab yang sudah saya jelaskan di atas, pada dasarnya hampir seluruh wilayah Jakarta rawan terhadap turun muka tanah yang dapat memicu terjadinya pelemahan pada sistem struktur tanah dan akan berdampak pada daya dukung tanah itu sendiri terhadap bangunan yang ada diatasnya. Amblesan merupakan bentuk hilangnya daya dukung tanah terhadap bangunan yang ada diatasnya.

Pantai utara Jakarta, baik Jakarta Utara, Jakarta Timur bagian utara, Jakarta Barat bagian Utara dan Jakarta Pusat bagian utara merupakan kawasan yang selama ini sudah menunjukan kondisi kritis terkait dengan turunnya muka tanah. Beberapa kawasan yang laju penurunan muka tananya sudah sangat mengkuatirkan di antaranya adalah Muara Baru, Kelapa Gading, Marunda, Kemayoran, Pasar Ikan, Pluit, Ancol, Gunung Sahari, Mangga Dua, Pantai Mutiara, Meruya, Sudirman-Thamrin, Klender, dan masih banyak kawasan lain yang masih menunjukkan tren penurunan muka tanah yang tinggi.

Kalau ini tidak tertangani bagaimana? Apa yang harus dilakukan pemerintah khususnya Pemprov DKI Jakarta, masyarakat atau pengusaha dan pemerhati masalah ini?

Jika tidak segera ditangani, kota ini akan tenggelam secara perlahan dan pasti. Ketika laju penurunan muka tanah kita terus tidak terkendali, dalam saat bersamaan permukaan air laut juga naik secara signifikan sebagai dampak dari pemanasan global.

Pengendalian banjir di Ibu Kota tidak akan pernah berhasil, karena begitu titik genangan yang ada kita hilangkan, dalam saat bersamaan titik genangan baru akan bermunculan. Jalan-jalan ibukota yang sudah menjadi neraka bagi penggunanya setiap hari mulai dari subuh hingga larut malam (tanpa adanya hujan), akan semakin lumpuh dengan bermunculannya titik-titik genangan baru.

Drainase yang didesain 30-40 tahun lalu sudah tidak memiliki kemiringan (slope) yang normal lagi, karena pada banyak tempat sudah menekuk (seperti patah) akibat terjadinya penurunan muka tanah sehingga tidak lagi bisa mengalirkan air secara normal ke saluran pengumpul (jaringan makro drainase yang juga sudah menjadi tempat pembuangan sampah dan akumulasi sedimen). Inilah yang kemudian saya sebut bahwa kota ini akan kelelep atau bahasa teknisnya tenggelam menjelang 2012.

Apa yang harus dilakukan oleh kita semua?

Saya kata semua karena ini merupakan tunas kita bersama, tidaknya hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat dan dunia usaha. Pertama adalahhentikan segera tindakan ekstraksi air tanah dalam yang ada. Untuk bisa menghentikan ektrasksi (moratorium) pemerintah perlu segera dan segera menyediakan air bersih perpipaan yang dapat memenuhi hampir seluruh kebutuhan air bersih perkotaan di DKI Jakarta ini.

Air bersih yang saya maksud adalah air bersih yang pelayananya prima tingkat kebocorannya rendah, kualitasnya benar-benar air minum, harganya terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Terkait dengan air bersih/minum ini kita punya persoalan serius, karena air baku kita kritis dan 97,8% tergantung dari suplai dari luar ibu kota. Ini adalah tragedi kemanusiaan karena kota yang dilewati oleh 13 sungai, karena ulah perilaku masyarakatnya yang super primitif akhirnya menjadi tempat pembuangan limbah sehingga tidak satu sungai/kalipun yang layak dijadikan air baku untuk air bersih oleh PAM Jaya (bayangkan).

Saya sebagai akademisi sudah berkali-kali memberikan peringatan, sebagai profesional dan anggota dewan sumber daya air provinsi DKI jakarta dan sebagai badan regulator pelayanan air minum DKI Jakarta telah mencoba memberikan beberapa usulan pemecahan yang sifatnya strategis dan berkelanjutan kepada pemerintah (pusat dan DKI) untuk memastikan water security ibukota NKRI ini segera ditingkatkan.

Pusat tidak bisa membiarkan Jakarta jalan sendiri menyelesaikan masalah pengelolaan SDA (kelangkaan air baku, pengendalian banjir, pengelolaan limbah cair perkotaan, dan pengendalian ekstraksi air tanah dalam). Karena Jakarta bukan hanya ibukota provinsi DKI Jakarta, tetapi juga berfungsi sebagai Ibukota NKRI berdasarkan UU No 29 tahun 2007. Saya menuji apa yang dilakukan oleh Pemerintah Mexico City 60 tahun lalu dan Bangkok 20 tahun lalu dalam mencegah kotanya tidak ambles dan tenggelam. Bagaimana dengan Jakarta dan Indonesia?

(zal/vit)