Archive for the ‘KAT’ Category

Penyusunan Lakip Dit. PKAT
Tanggal: Wednesday, 22 February 2012
Topik: Ditjen Pemberdayaan Sosial



Transparansi dan akuntabilitas sebagai bagian dari elemen reformasi birokrasi merupakan prasyaratpokok tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik, bersih dan transparan (clean and good governance), oleh karena itu bertempat di Resort Prima Cipayung – Bogor, 16-19 Februari 2012 telah dilaksanakan kegiatan penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil.

Kegiatan ini menghadirkan Narasumber dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi (Kementerian PAN dan RB) serta diikuti peserta dari Pusat Jabatan Fungsional PSPS Kementerian Sosial RI dan Direktorat Pemberdayaan KAT.

LAKIP adalah sebuah laporan yang berisikan akuntabilitas dan kinerja dari suatu instansi Pemerintah. Penyusunan LAKIP berdasarkan siklus 1 tahun anggaran berjalan yang secara lengkap memuat laporan yang membandingkan perencanaan dan hasil yang dicapai dalam program/kegiatan Pemberdayaan KAT. LAKIP Direktorat Pemberdayaan KAT penting dalam rangka mengukur tingkat pencapaian serta kinerja Direktorat Pemberdayaan KAT dalam melaksanakan program/kegiatan pemberdayaan KAT.

Dasar Hukum LAKIP yaitu; Inpres No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, SK LAN No. 239 tahun 2003 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Inpres No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, PP No. 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, Permenpan No. 9 tahun 2007 tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama di Lingkungan Instansi Pemerintah, Permenpan No. 29 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

Dalam paparannya, Soemardiono, AK. MBA yang mewakili Kementerian PAN dan RB mengemukakan beberapa hal terkait perlunya evaluasi dalam proses implementasi akuntabilitas dalam program/kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi Pemerintah, dalam hal ini kegiatan pemberdayaan KAT yakni:
1.    Meningkatkan mutu pelaksanaan pemberdayaan KAT;
2.    Meningkatkan akuntabilitas kinerja pemberdayaan KAT;
3.    Memberikan informasi yang lebih memadai dalam menunjang proses pengambilan keputusan dalam rangka pemberdayaan KAT;
4.    Meningkatkan pemanfaatan alokasi sumberdaya yang tersedia;
5.    Sebagai dasar peningkatan mutu informasi mengenai pelaksanaan kegiatan Pemberdayaan KAT;
6.    Mengarahkan pada sasaran dan memberikan informasi kinerja pemberdayaan KAT.

Lebih lanjut ia menambahkan bahwa manfaat yang didapat dari penyusunan LAKIP yaitu evaluasi yang dilakukan akan dapat menentukan besaran kinerja yang dihasilkan secara kuantitatif yaitu besaran dalam satuan jumlah atau persentase, mengukur efektivitas serta efisiensi penggunaan dan penyerapan anggaran dalam pemberdayaan KAT, meningkatkan aktivitas/kegiatan pemberdayaan KAT, serta meningkatkan efektivitas manajemen pelaksanaan kegiatan Pemberdayaan KAT (erik_pkat/subdit v).

 

Diposting oleh: admin pada 17 Feb 11:53 PM |

 

Peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) yaitu CO2, CH4, N2O, SF6, HFC dan PFC akibat aktifitas manusia menyebabkan meningkatnya radiasi yang terperangkap di atmosfer. Hal ini menjadi fenomena pamanasan global yang dilematis. Suhu permukaan bumi meningkatkan panas secara global.

Pemanasan global telah mengakibatkan perubahan iklim berupa perubahan pada unsur-unsur iklim seperti naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya penguapan di udara, berubahnya pola curah hujan, dan tekanan udara yang pada akhirnya akan mengubah pola iklim dunia. Pemanasan global dan perubahan iklim terutama terjadi akibat aktifitas manusia seperti pemanfaatan bahan bakar fosil, kegiatan pertanian dan peternakan, atau dikarenakan konversi lahan yang tidak terkendali.

Konvensi Perubahan Iklim atau UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) adalah sebuah kesepakatan yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK, atau Green House Gas-GHG) di atmosfir, pada taraf yang tidak membahayakan kehidupan organisme dan memungkinkan terjadinya adaptasi ekosistem sehingga dapat menjamin ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan.

Negara-negara yang telah merativikasi konvensi harus berupaya menekan laju peningkatan emisi GRK di dalam negerinya. Namun, pada konvensi ini dikenal adanya prinsip “common but differentiated responsibilities”. Setiap negara memiliki tanggung jawab yang sama, tetapi dengan peran yang berbeda-beda.

Protokol Kyoto yang lahir tahun 1997 pada periode komitmen pertama I (2008-2012) menyebutkan bahwa negara-negara maju (dalam Konvensi disebut Annex-I countries, negara yang mengkontribusikan GRK dalam jumlah yang signifikan) diwajibkan untuk menurunkan emisinya. Hal ini tidak berlaku bagi negara-negara berkembang (Negara Non-Annex-I).

tuhoe 14 geulanggang cut 2010-09-27_14-43 CG7 13

Sarasehan yang membahas tentang isu REDD dan lingkungan hidup saat Kongres III JKMA Aceh, 27 September 2010 di Gampông Ie Meulee, Sabang. (Dok. JKMA Aceh)

 

MASYARAKAT ADAT

Perubahan iklim merupakan konsekwensi besar dari paradigma pembangunan yang tidak berkelanjutan. Masyakarat adat termasuk di antara mereka yang paling menderita akibat dampak negatif perubahan iklim. Terdapat hubungan yang erat antara masyarakat adat dan ekosistem tempat mereka hidup dan berkembang selama ribuan tahun. Masyarakat adat bergantung pada ekosistem yang beragam ini bagi keberadaan mereka dari sisi nutrisi, ekonomi, budaya, sosial dan spiritual.

Parahnya dampak perubahan iklim dan proses mitigasi terhadap masyarakat adat dan proses negosiasi yang kompleks seputar perubahan iklim memaksa kita untuk memiliki pemahaman dasar tentang perubahan iklim serta kebijakan dan tindakan yang diambil untuk menanganinya. Kita, masyarakat adat, sejak lama telah mengamati dan menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim dalam komunitas kita selama puluhan tahun.

Berkat gaya hidup berkelanjutan kita dan perjuangan kita melawan deforestasi dan melawan ekstraksi minyak dan gas, kita secara signifikan telah berkontribusi dalam mempertahankan ber-gigaton karbon dioksida dan gas-gas rumah kaca lainnya agar tetap di dalam tanah dan dalam pepohonan. Walau demikian, cakupan dan besarnya perubahan iklim saat ini betul-betul menantang kapasitas kita untuk mengatasi dan beradaptasi.

Banyak tantangan lingkungan yang kita hadapi, apakah itu perubahan iklim, polusi, degradasi lingkungan, dan lain-lain, disebabkan bukan oleh tindakan-tindakan kita sendiri, tapi sebagian besar oleh masyarakat-masyarakat dominan yang secara gencar mengejar arah pembangunan yang berdasarkan produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan. Perubahan iklim merupakan bukti terbesar bahwa model pembangunan dominan ini tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, perlu diubah. Kerja sama dan solidaritas internasional untuk mendukung inisiatif-inisiatif adaptasi dan untuk memperkuat kontribusi-kontribusi kita terhadap mitigasi perubahan iklim adalah penting.

Dengan melihat kondisi di atas, Kongres III JKMA Aceh yang berlangsung di Kota Sabang mengadakan sarasehan yang dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok yang membahas tentang REDD menghadirkan pembicara dari tingkat nasional dan daerah, di antaranya Angki dari yayasan Pusaka, Dewa Gumay dari Task Force REDD Aceh, Sanusi M. Syarif dari Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI). Selain itu, hadir pula tokoh masyarakat adat Aceh, seperti Muhibuddin, Syarifuddin, dan Nasruddin.

Sarasehan dengan tema mirip adalah “Perubahan Iklim dan Masyarakat Adat”. Pada kelompok ini menghadirkan pembicara dari Walhi Nasional. Untuk tema “REDD apakah bisa menjawab persolaan Iklim Global” dibahas oleh Goerge Budi Indarto dari CSF Jakarta dan Pang Yuriun dari JKMA Aceh.

Hasil diskusi yang dilakukan menunjukkan bahwa ada dua skema besar yang didiskusikan di PBB (internasional) dalam menghadapi perubahan iklim, yakni mitigasi dan adaptasi. Mitigasi adalah skema yang mencegah terjadinya perubahan iklim (skema sebelum terjadi) dan adaptasi adalah skema yang berusaha menyesuaikan diri dari dampak perubahan iklim (skema sesudah terjadi), REDD muncul sebagai salah satu bagian dari skema mitigasi atau skema mencegah perubahan iklim di negara berkembang yang punya hutan.

REDD mulai muncul pada tahun 2005, tepatnya pada pertemuan PBB mengenai Perubahan Iklim di Montreal. Usulan dari Papua Nugini dan Kosta Rika untuk membayar orang yang tidak menebang hutan sehingga polusi dari hutan berkurang dan tidak mencemari bumi. Usulan ini didukung oleh banyak negara, termasuk Indonesia.

tuhoe 14 geulanggang cut peta ulu masen

Peta Kawasan Ulu Masen (Dok. FFI)

DI ACEH

Proyek REDD di Aceh mengalami beberapa tantangan dan acaman, terutama dalam upaya mengurangi emisi karbon. Tantangan utama bisa dilihat dari beberapa aspek nyata yang terjadi di Aceh hari ini, misalnya laju kerusakan hutan; tata ruang yang tidak jelas; institusi pemerintah dan NGO yang diberi kewenangan mengurusi hutan tumpang tindih antara satu dengan lainnya; tingkat pemahaman pemerintah dan masyarakat di sekitar wilayah Ulu Masen.

Pemerintah Aceh melaporkan pada tahun 2007 kerusakan hutan di Aceh terus berlanjut hingga 21.000 hektar per tahun. Selain disebabkan oleh pembukaan hutan untuk perkebunan, kerusakan hutan di Aceh dipicu oleh pertambangan dan pembangunan infrasturuktur jalan, kebakaran lahan gambut, dan aktivitas illegal logging.

Untuk itu, kesadaran, pemahaman, dan kapasitas kelembagaan di sini menjadi penting. Seperti juga tantangan di Indonesia, tantangan yang paling umum ditemukan di Aceh dalam proyek REDD ada beberapa hal. Kesadaran komunitas dan pemerintah yang masih harus terus ditingkatkan, karena REDD dan keterkaitannya dengan kepentingan pembangunan nasional. Sebagian besar pemerintah menganggap bahwa REDD adalah sesuatu yang dapat mendatangkan uang besar hanya dengan menunjukkan yang memiliki stok karbon tertentu.

Kongres III JKMA Aceh telah melahirkan rekomendasi mengenai bagaimana masyarakat adat mendapatkan informasi mengenai isu REDD. Para peserta berharap agar pemimpin baru JKMA Aceh yang terpilih dalam kongres ini dapat menjalankan mandat hasil-hasil Kongres III JKMA Aceh sehingga nantinya tercapai kedaulatan masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya alam. [Zul Arma]

 

Kedaulatan Masyarakat Adat Menyikapi Perubahan Iklim

(Desa Siabal-abal IV, Desa Siabal-abal III, Desa Sabungan ni Huta II, III, IV, V)

(8/2) Di kantor DPRD Taput, pukul 16.00, ketua DPRD Tapanuli Utara, Fernando SImanjuntak, Ketua Komisi C, Poltak Sipahutar, Sekretaris Komisi C, Poltak Pakpahan, dan satu orang anggota komisi menerima kehadiran 14 orang utusan Aliansi MAsyarakat Adat Bona Ni Dolok (Desa Siabal-abal IV, Desa Siabal-abal III, Desa Sabungan ni Huta II, III, IV, V), dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak.

Melalui juru bicara kelompok masyarakat ParsaoranSimanjuntak bahwa audiensi ini bertujuan untuk menyampaikan penolakan mereka atas program pengayaan hutan oleh Dinas Kehutanan Taput di hutan kemenyan mereka yakni; tombak Tano Magege, Batu Garaga, dan tano mangipul seluas sekitar 350 ha. Adapun lahan tersebut telah dimiliki mereka sejak ratusan tahun lalu dari jaman nenek moyang mereka. Keresahan masyarakat muncul ketika dinas kehutanan melakukan program pembibitan di lokasi tersebut tanpa sepengatahuan mereka sebagai pemilik hak atas tanah adat.

Dan pada 22 Nopember 2011 yang lalu, bertempat di HKI Sosor Siamporik, Dinas Kehutanan Taput, yang dihadiri oleh Kadis Kehutanan, Alboin Siregar, melakukan sosialisasi Program Pengayaan Hutan. Pada saat sosialisasi tersebut, Alboin Siregar menjelaskan bahwa Program Pengayaan Tanaman Hutan tersebut akan dilakukan di tanah negara seluas 350 ha. Status tanah inilah yang kemudian dipersoalkan oleh Aliansi MAsyarakat Adat Bona Ni Dolok.

Masyarakat juga menyampaikan tuntutan mereka, antara lain:

(1). Menolak program Pengayaan hutan di Tombak haminjon Bona Ni Dolok milik masyarakat adat.

(2). Hentikan segera pengerjaan penananam bibit pohon yang hingga hari ini masih berlangsung di tombak Bona Ni Dolok milik masyarakat adat.

(3). Pemerintah harus melindungi dan mengakui tanah/tombak Bona Ni Dolok adalah milik masayarakat adat.

(4). Masyarakat berhak menolak program yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Menanggapi pengaduan masyarakat tersebut, Fernando Simanjuntak, Ketua DPRD Taput mengatakan bahwa langkah masyarakat mendatangi lembaga DPRD sudah tepat. Pada prinsipnya kami dari DPRD tetap akan berupaya untuk menjelaskan dan memfasilitasi pertemuan antara Dinas Kehutanan dan masyarakat. Karena pada dasarnya kehutanan dibentuk untuk melayani masyarakat bukan untuk merusak dan menyakiti hati masyarakat. Hanya saja kita harus objektif juga dan mendapatkan informasi yang jelas dari masyarakat yang merasa korban. Jangan hanya karena adanya pihak-pihak lain yang memprovokasi perjuangan masyarakat. Dia juga menambahkan bahwa di lembaga legislative ini adaempat anak dari Sipahutar dan merupakan bagian dari masyatakat di sana. Dan harus berjuang bersama sesuai dengan aturan yang ada.

Oleh karena itu, dalam waktu dekat, dalam dua hari sesudah audiensi ini, DPRD akan meminta penjelasan DInas Kehutanan. Setelah itu baru masyarakat diundang bersama-sama dengan Dinas Kehutanan.

Hal yang sama dikatakan oleh ketua komisi C, Poltak Sipahutar, bahwa DPRD akan mengawal pengaduan masyarakat ini dan segera menindaklajutinya. Namun perlu ada data-data yang jelas, tentang surat menyurat dan data lainnya tentang kasus tersebut.

Acara audiensi ditutup dengan janji DPRD akan segera minindaklanjuti pengaduan masyarakat ini, dengan menekankan bahwa masyarakat jangan dulu melakukan tindakan-tindakan yang melawan hukum.

Pengurangan Karbon

Kemiskinan Adalah Isu Penting Dalam REDD

Sabtu, 18 Februari 2012 | 16:59
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidatonya di acara pembukaan Forest Indonesia Conference di Jakarta, Selasa (27/9). Presiden Yudhoyono menyampaikan pidatonya di Konferensi yang mengambil tema

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidatonya di acara pembukaan Forest Indonesia Conference di Jakarta, Selasa (27/9). Presiden Yudhoyono menyampaikan pidatonya di Konferensi yang mengambil tema “Alternative Futures to Meet Demands for Food, Fibre, Fuel and REDD +” (sumber: Antara)

Penurunan emisi sebesar 26 persen di tahun 2020

Pengurangan emisi karbon yang dihasilkan dari deforestasi dan degradasi hutan, atau lebih dikenal dengan REDD, harus dikaitkan dengan isu kemiskinan dan perlindungan terhadap masyarakat adat.

Demikian diungkapkan oleh Kuntoro Mangkusubroto, ketua satgas REDD+ ((Reducing Emissions from Deforestation and Degradation), di hadapan wartawan, di Jakarta.

“Ini bukan semata-semata hanya soal perusakan hutan oleh perusahaan-perusahaan. Memang itu terjadi, tapi REDD + lebih real adalah soal kemiskinan. Buat saya, ini soal kemiskinan, kita harus kaitkan kedua hal tersebut,” tandas Kuntoro yang menjabat menjadi ketua Satgas REDD+ hingga Desember 2012 mendatang.

Dia menambahkan bahwa REDD+ tidak hanya berhubungan dengan penghitungan karbon tetapi berhubungan dengan manusia.

“Ada contoh hutan suaka di Siberut, di situ ada suku Anak Dalam atau suku asli di sana, mereka inginkan tetap di sana, tetapi orang pusat mau-nya mereka keluar karena itu hutan suaka. Anomali-anomali ini yang harus ditangani dengan benar. Hutan tidak hanya kayu, tetapi juga kehidupan manusia,” tandasnya yang juga mencontohkan kasus-kasus terkait dengan tanah seperti Bima, Mesuji, Muara Tae, hingga Pulau Padang.

Dalam masa jabatannya, Kuntoro menjanjikan adanya pelibatan masyarakat adat di tahap awal, dan tidak menjadikan REDD+ sebagai program elitis semata.

“Kita tidak akan terapkan father’s knows best tapi ini adalah proses bersama. Tidak akan ada program dari Jakarta tapi kita bicarakan bersama, makanya ada sekretariat bersama untuk menampung semua aspirasi,” ucapnya.

REDD+ tidak hanya akan bergerak pada penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, tetapi juga mencakup mengenai konservasi, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan meningkatkan stok karbon.

“Jadi, kita juga bicara tentang biodiversitas. Pembantaian orangutan di Kalimantan Timur menjadi sangat high profile bagi satgas (REDD+) karena orangutan adalah keystone species. Mereka juga menjadi pokok, bukan hama,” jelasnya.

Indonesia saat ini berusaha menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan gerakan mencegah perubahan iklim.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono targetkan penurunan emisi sebesar 26 persen di tahun 2020 dan dengan bantuan luar negeri akan menurunkan 41 persen.

Di sisi lain, SBY juga mencanangkan target 6,5 persen pertumbuhaan ekonomi.

Bila tidak ada tindakan pencegahan, maka berdasarkan dokumen Second National Communication, emisi gas rumah kaca (GRK) yang dikeluarkan sebesar 2,950 juta ton jauh meningkat dari tahun 2005 sebesar 2,120 juta ton dan 2000 sebesar 1,720 juta tahun.

Sementara, penyumbang emisi terbesar datang dari lahan gambut dan hutan yang mencapai 87 persen.

Penulis: Fidelis E. Satriastanti/ Entin Supriati
NUSANTARA – KEP. BANGKA BELITUNG

Sabtu, 21 Januari 2012 , 17:37:00

PANGKALPINANG – Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) dikategorikan sudah terbebas dari daerah tertinggal atau wilayah Komunitas Adat Terpencil (KAT). Padahal, sebelumnya Babel termasuk kategori daerah tertinggal karena sejumlah desa di provinsi Babel termasuk kategori daerah tertinggal.

Namun berdasarkan survey terakhir yang dilalukan Kementrian Sosial RI tahun ini, tidak ada wilayah di Babel yang masih masuk wilayah tertinggal atau KAT. “Tahun 2011 lalu dari hasil monitoring dan survey yang dilakukan oleh pusat dan survey dari Kementerian Sosial RI, mencatat satu daerah di Babel yang masih masuk kategori KAT yaitu Desa pulau Batu di Kabupaten Belitung. Namun di 2012 berdasarkan survey terakhir yang dilakukan oleh pusat dan survey dari Kementerian Sosial RI, seluruh desa di Babel dikategorikan sudah bebas dari kategori KAT,” ungkap Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial (Kadinkessos) provinsi Bangka Belitung, Drs Sahirman Jumli, kepada wartawan di ruang kerjanya, kemarin (18/1).

Sahirman menjelaskan, untuk menetapkan sebuah kawasan bisa dikategorikan KAT, ada sejumlah ciri-ciri yang bisa menjadi dasar. Di antaranya adalah masyarakat tersebut merupakan sebuah komunitas dengan jumlah anggota terbatas, homogen dan tertutup. Masyarakat di wilayah tersebut memiliki hubungan kekerabatan, kawasan yang mereka tinggali sulit dijangkau serta hidup dengan sub sistem ekonomi yang terbatas.

“Jika sebuah kawasan memiliki ciri sebagaimana disebut di atas, maka bisa dikategorikan sebagai kawasan KAT,” jelasnya.

Lebih lanjut Sahirman mengungkapkan, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan suatu wilayah agar tidak lagi dikategorikan sebagai masyarakat dengan wilayah Komunitas Adat Terpencil (KAT), yakni dengan memberdayakan program KAT.

“Kementerian Sosial melalui Dinkessos Babel sudah memberikan bantuan jaminan hidup untuk pulau Batu pada sekitar 75 Kepala Keluarga (KK). Bantuan yang diberikan seperti untuk membangun perumahan layak huni. Melalui dana APBN kita bantu mereka buat rumah, kita suplai bahan bangunanya baik semen, batu bata, papan dan lainya,” papar Suherman.

Suherman menambahkan, setelah dinyatakan bebas dari kategori KAT, Dinkessos tidak serta merta melepaskan pengawasan di daerah tersebut. Karena, akan ada program lanjutan yang disiapkan untuk desa yang baru terbebas dari kategori KAT tersebut.

“Program pembinaan dilakukan seperti program pelatihan tenaga kerja, serta memperbanyak dan memperbaiki akses dan fasilitas umum seperti jalan, sekolah-sekolah  yang ada di Desa Pulau Batu Kabupaten Belitung itu.” tambahnya.

Lebih jauh Sahirman mengungkapkan, dukungan dari pemerintah pusat diberikan untuk masing-masing provinsi yang masih ada daerahnya dikategorikan KAT. Bantuan dana yang diberikan oleh pemerintah pusat itu dialokasikan dari dana dekonsentrasi

“Untuk tahun 2011 lalu dana Dekon yang diterima Babel dari pusat untuk pengembangan program KAT itu dialokasikan sebesar Rp 2 milyar. Dan, dikarenakan Babel sudah dikategorikan bebas dari wilayah KAT, maka di 2012 provinsi Babel sudah tidak lagi menerima dana bantuan dari pusat.” katanya. (hry)

JAMBI-Gubernur Jambi Drs. H. Hasan Basri Agus, MM (HBA) mengharapkan seluruh jajaran pemerintah memperhatikan keberadaan Orang Romba dan Suku Anak Dalam (SAD), hal ini disampaikan Gubernur, Kamis (26/1/2012) seusai membuka Workshop dan Dialog Nasional Orang Rimba dan SAD, yang dilaksanakan oleh Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Nusantara (AMAN) Jambi, yang   dilaksanakan di Kota Muara Bulian, Kabupaten Batang Hari Jambi.

“Kita harapkan seluruh jajaran pemerintah, baik itu Pemerintah  Pusat, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota hingga ditingkat Kecamatan dan Desa memperhatikan dan mengamanakan, Saudara-saudara kita, masyarakat SAD, terutama dalam mengamanakan mata pencarian mereka, sebagaimana yang diharapkan oleh salah seorang Temenggung dari SAD, yakni Tumenggung Tarip yang ikut hadir pada kesempatan ini, mereka mengharapkan tetap terpeliharanya hutan sebagai tempat mereka mencari kehidupan, (makan), baik berupa hewan buruan maupun umbi-umbian, sekaligus sebagai tempat tinggalnya,” tegas Gubernur.

Lebih lanjut disampaikan Gubernur, kebutuhan akan hutan bagi masyarakat SAD, merupakan kebutuhan yang sangat mendasar. Oleh karena itu, Provinsi Jambi yang memiliki Wilayah Taman Nasional yang cukup luas, seperti, Taman Nasional Bukit 30, Bukit 12, dan Taman Nasional Berbak, disamping adanya hutan-hutan adat yang harus diselamatkan keberadaannya, disamping menyelamatkan hutan-hutan pengaman, yang kesemuanya harus mendapat perhatian khusus, ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk kepentingan keberadaan Masyarakat SAD, ujar Gubernur.

  Dalam hal ini tegas Gubernur, bukan berarti membiarkan masyarakat SAD selalu hidup dalam kondisi seadanya, hidup di hutan-hutan selama-lamanya, tetapi pemerintah juga tidak bisa memaksa masyarakat SAD untuk kembali pada kehidupan sebagaimana masyarakat umumnya, karena meraka sudah merasa senang dengan keberadaanya sebagaimana saat ini. Jangan dianggap mereka tidak bahagia dengan cara hidup yang dijalaninya. Bagaimanapun pemerintah membuatkan rumah dan membuatkan pemukiman untuk masyarakat SAD disekitar desa, tetapi kenyataannya masyarakat ini tidak mau menetap dan tinggal di tempat yang disediakan, jadi kebahagian itu sifatnya relatif, bahagia bagi masyarakat umum belum tentu bahagia bagi masyarakat SAD, tegasnya.

Untuk itu sudah seharusnya diamankan apa yang membuat masyarakat ini merasa bahagia, sambil secara pelan-pelan mereka diarahkan untuk kembali hidup sebagai layaknya masyarakat pada umumnya. Disamping tentunya memberikan pendidikan bagi anak-anaknya bagi yang sudah bersedia menetap di pemukiman yang disediakan pemerintah.

Disamping itu saat menyampaikan sambutannya Gubernur juga menyampaikan, melalui workshop dan dialog ini diharapkan dapat menginspirasi dan menambah kepedulian untuk bersama-sama menjaga kelestarian budaya dari SAD dan Orang Rimba. Sebagaimana diketahui, jelas Gubernur, bahwa SAD merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Warga Negara Indonesia, yang memililki hak untuk hidup dan berkembang, meneruskan adat istiadat dan budayanya yang unik, dapat dijadikan sebagai khasanah baru untuk memperkaya aneka ragam budaya masyarakat Provinsi Jambi.

Selain itu bahwa dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan harus mengacu kepada strategis pembangunan nasional, yaitu pro poor, po job, pro growth, dan pro environment. Berbicara tentang kelestarian lingkungan, maka selayaknya harus menghargai komunitas SAD dan Orang Rimba, mengingat komunitas ini telah menerapkan prinsip pengelolaan sumberdaya alam dapat mendukung keberlanjutan kehidupan untuk generasi sekarang dan akan datang.

Intensitas antara komunitas adat terpencil  dengan masyarakat umum, hendaknya dapat berjalan secara harmonis, hal ini sesuai dengan pesan yang terkandung dalam Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia, yang menyatakan bahwa “setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan, berhak memperoleh perlakukan dan perlindungan lebih, berkenaan dengan kekhususnanya”. Selain itu masyarakat hukum adat harus diperhatikan oleh hukum, masyarakat dan pemerintah, identitas budaya masyarakat adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi se;aras dengan perkembangan zaman, jelas Gubernur.

   Sedangkan Sekretaris Jenderal AMAN, Abdon Nababan yang hadir pada kesempatan ini dalam sambutannya menyaampaikan, bahwa selama 13 tahun gerakan masyarakat adat dibangun bersama-sama, banyak hal yang telah diraih. Sesungguhnya konstitusi   UUD 1945, secara jelas menyebutkan bahwa masyarakat adat adalah pondasi bangsa ini. Jadi berbicara masalah masyarakat adat, adalah berbicara tentang kebangsaan, ujarnya. Apa yang terjadi sekarang, saat ini AMAN tela berhasil meminta perhatian DPR RI untuk memasukkan pembahasan Rancangan UU tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat masuk prioritas pada tahun 2012 ini.

Menurut Abdon Nababan, pertemuan ini dinilai sangat penting, karena ini menjadi satu tonggak sejarah bagi AMAN, karena selama ini AMAN selalu melakukan pembahasan tentang masyarakat adapt secara umum, tetapi pertemuan kali ini dilaksanakan lebih khusus membicarakan masalah orang rimba dan SAD. Untuk pertemuan ini diharapkan akan dapat memberikan usulan-usulan kongkrit yang tidak hanya kepada pemerintah, tetapi juga kepada AMAN dan LSM-LSM lain yang selalu mendamping masyarakat adapt, harapnya. (Sunarto / fotografer Novriansah).

Sumber : Biro Humas dan Protokol ( 26/01)

 

http://www.jambiprov.go.id/?show=berita&id=2295&kategori=berita&title=Gubernur%20harapkan%20jajaran%20pemerintah%20memperhatikan%20SAD

Jakarta | Kamis, 1 Dec 2011
Vien Dimyati

DARI sebanyak 30 provinsi di Indonesia, baru tiga provinsi yang daerahnya berhasil mengentaskan masyarakat yang terasing atau masyarakat yang sama sekali belum menyentuh akses pembangunan. Tiga provinsi tersebut adalah Bali, Bengkulu, dan Bangka Belitung.

Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Sosial (Kemensos), Rusli Wahid mengatakan semula masyarakat yang tergabung dalam komunitas adat terpencil menyebar di 30 provinsi. Baru tiga provinsi yang sudah berhasil mengatasi masyarakat terpencil ini. Masyarakat ini masih terbilang terasing atau masyarakat yang sama sekali belum terjamah dengan akses pembangunan.

“Pemerintah bekerja sama dengan provinsi yang berhasil mengatasi masyarakat terasing ini dinilai tepat sasaran dalam memberikan programnya,” kata Rusli, di Jakarta, (29/11).

Menurut dia, masyarakat yang terasing ini muncul karena pembangunan infrastruktur belum menyentuh masyarakat tersebut. Meskipun sudah ada upaya dan program yang diberikan kepada masyarakat terasing ini, tapi hal tersebut tidak mudah untuk membebaskannya.

“Selain karena kondisi medan yang sangat berat untuk ditembus, masyarakatnya juga sering berpindah-pindah tempat untuk mencari kehidupan,” katanya.

Ia memaparkan saat ini masyarakat yang masih terasing atau belum tersentuh dengan akses pembangunan masih ada sebanyak 123 ribu kepala keluarga di Indonesia. Kondisi masyarakat terasing tersebut masih terbilang memprihatinkan karena jauh dari pusat perekonomian.

“Kebanyakan mereka tinggal di pesisir pantai, laut, kawasan hutan, juga pegunungan yang sulit terjangkau. Bahkan komunitas ini sering berkelana, tidak menetap dan hanya tinggal sementara. Inilah yang menjadi kendala pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terasing ini,” kata dia.

Ia menambahkan, masyarakat ini harus keluar dari keterasingan dan bisa merasakan akses pembangunan. Maka itu, tiap tahun Pemerintah melalui Kemensos terus meningkatkan program untuk menembus keterasingan ini. Program yang diberikan adalah semacam bantuan dalam pembangunan rumah, sarana prasarana, dan jatah hidup.

Menurut dia, kementeriannya telah bekerja sama dengan 14 kementerian dalam mengatasi masyarakat terasing ini. Dalam kerja sama ini, kementerian terkait akan bekerja di bidangnya masing-masing. Misalnya seperti Kementerian Kesehatan memberikan fasilitas kesehatan, Kementerian Pendidikan memberikan pendidikan, dan Kementerian Pekerjaan Umum memberikan fasilitas infrastruktur.

Menurut data Kemensos pada 2009, jumlah populasi masyarakat terpencil di Indonesia mencapai 213.080 Kepala Keluarga. Tahun 2010-2011, angka tersebut turun menjadi 123 ribu kepala keluarga yang belum diberdayakan.

Sementara jumlah anak di Komunitas Adat Terpencil ini berdasarkan asumsi Kemensos, pada umumnya setiap Kepala Keluarga memiliki 3-4 anak sehingga diperkirakan jumlah populasi anak KAT sekitar 383.016 anak hingga 510.688 anak.

Kian Pasti Di Tata Kian Nyata di Cinta
Tanggal: Wednesday, 26 October 2011
Topik: Ditjen Pemberdayaan Sosial

“KIAN PASTI DI TATA KIAN NYATA DI CINTA” 

FINALISASI DRAFT MEMORANDUM of UNDERSTANDING (MoU) PEMBERDAYAAN WARGA KOMUNITAS ADAT TERPENCIL (KAT) MELALUI PENATAAN PERMUKIMAN DI DALAM DAN DI LUAR KAWASAN HUTAN 


 Sebagai bagian dari upaya percepatan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang dilakukan oleh Direktorat Pemberdayaan KAT, Bertempat di The Green Hotel Ciawi, Bogor pada tanggal 19-22 Oktober 2011 telah dilaksanakan pertemuan Finalisasi Draft Memorandum of Understanding (MoU) Pemberdayaan Warga Komunitas Adat Terpencil (KAT) Melalui Penataan Permukiman di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan yang melibatkan 3 Kementerian/Lembaga yakni Kementerian Sosial, Kementerian Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional.

Dalam Pertemuan ini, dihadirkan tiga orang narasumber yang mewakili Kementerian/Lembaga terkait yakni dari Pusat Kajian Hukum Kementerian Sosial, Biro Hukum dan Organisasi Sekretariat Jenderal Kementerian Kehutanan dan dari Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat Badan Pertanahan Nasional.

Pertemuan juga diikuti dari Bagian Hukum dan Humas Ditjen Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan, Pusat Jabatan Fungsional PSPS serta unsur Direktorat Pemberdayaan KAT. Selain itu, Pertemuan finalisasi draft MoU juga dihadiri dari Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat yang diwakili oleh Asdep Urusan Perumahan dan Permukiman yang dalam paparannya sangat menyambut baik adanya MoU ini karena dapat mempercepat serta mengoptimalkan pemberdayaan KAT yang tengah dan akan dilaksanakan.

“MoU ini memberikan ruang yang luas sekaligus peluang bagi terciptanya efektifitas dalam Pemberdayaan KAT selain sebagai panduan (guidance) dan sarana peningkatan koordinasi dan kerjasama lintas Kementerian/Lembaga dalam pemberdayaan KAT” demikian ia menambahkan. Pertemuan kali ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan penyusunan Draft MoU Penataan Permukiman Warga KAT di Kawasan Hutan dan Sekitarnya yang telah dilaksanakan tanggal 02-05 Agustus 2011 lalu di Hotel Citra Inn, Cikarang – Bekasi. Pertemuan kali ini dimaksudkan untuk menyatukan serta menyamakan persepsi dan pemahaman tentang butir-butir pasal / kesepakatan dalam Naskah MoU masukan dari masing-masing Kementerian/Lembaga terkait. MoU ini secara spesifik mengatur tugas, kewenangan dan tanggung jawab masing-masing Kementerian/Lembaga dalam hal ini Kementerian Sosial, Kementerian Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional terkait pemberdayaan warga KAT melalui penataan permukiman di dalam dan di luar kawasan hutan. Kerjasama dengan Kementerian Kehutanan diatur tentang bagaimana melaksanakan pemberdayaan warga KAT khususnya penataan permukiman warga KAT tanpa merubah fungsi hutan sesuai amanat UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Sementara itu kerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) diatur tentang prosedur penguatan hak atas tanah melalui sertifikasi tanah warga KAT setelah dinyatakan tidak bermasalah sesuai aturan perundang-undangan.

Tindak lanjut dari kegiatan ini nantinya akan disusun dalam naskah final MoU yang ditandatangani oleh 3 Menteri/Kepala Lembaga dalam hal ini Menteri Sosial, Menteri Kehutanan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional. Melalui hal ini diharapkan ke depan akan tercipta koordinasi dan kerjasama yang makin erat dan sinergis antara Kementerian Sosial, Kementerian Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional dalam Penataan Permukiman Warga KAT khususnya dan Pemberdayaan KAT umumnya.

Artikel dari Kementerian Sosial RI – Kerja Keras, Kerja Cerdas, Kerja Mawas, Kerja Selaras dan Kerja Tuntas
http://www.depsos.go.id

URL:
http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=16633


Tanggal :  26 Oct 2011
Sumber :  vhrmedia.com

Prakarsa Rakyat,


Warga Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah meminta pemerintah tidak membatasi aktivitas warga di hutan kawasan REDD. Hutan yang dijadikan kawasan Kalimantan Forest Climate Partnership adalah tanah ulayat.
  • Kurniawan Tri / Angga Haksoro
  • 25 Oktober 2011 – 15:2 WIB

VHRmedia, Jakarta – Masyarakat adat Dayak Ngaju meminta pemerintah mengakui hak masyarakat adat dalam proyek REDD Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP). Program pengurangan emisi di kawasan ini bekerja sama dengan pemerintah Australia.

Abdul Hamid, warga Desa Katunjung, Kapuas, Kalimantan Tengah, meminta akses masyarakat atas hutan tidak dibatasi. Hutan selama ini menjadi sumber mata pencaharian warga.

Menurut Abdul Hamid, 340 ribu hektare hutan yang akan dijadikan kawasan REDD adalah tanah ulayat. “Area seluas itu wilayah tanah ulayat. Kami ingin hak masyarakat adat dihormati. Kalau tidak, lebih baik tidak usah ada proyek REDD,” ujar Hamid di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Senin (24/10).

Lahan yang akan dijadikan proyek REDD, sebelumnya bekas kawasan pengembangan lahan gambut (PLG). Lahan tersebut dikuasai 23 perusahaan perkebunan sawit. “Masyarakat adat yang membuat hutan di kawasan bekas PLG tetap lestari,” kata Hamid.

Masyarakat meminta proyek REDD menunggu pelaksanaan Peraturan Gubernur Kalteng yang merekomendasikan inventarisasi hak adat. “Ini peraturan jangan sampai tumpang tindih. Pergub-nya saja belum dilaksanakan,” ujar Hamid. (E1)

http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/artikel.php?aid=51707